Nama
sebenarnya adalah Abu Abdurrahman Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhali
al-Marwazi lahir pada tahun 118 H/736 M.
Ayahnya
seorang Turki dan ibunya seorang Persia. Ia adalah seorang ahli Hadits yang
terkemuka dan seorang zahid termasyhur. Abdullah bin Mubarak telah belajar di
bawah bimbingan beberapa orang guru, baik yang berada di Merv maupun di
tempat-tempat lainnya, dan ia sangat ahli di dalam berbagai cabang ilmu
pengetahuan, antara lain di dalam gramatika dan kesusastraan.
Ia adalah
seorang saudagar kaya yang banyak memberi bantuan kepada orang-orang miskin.
Banyak karya-karyanya mengenai Hadits, salah satu di antaranya dengan tema
“Zuhud masih dapat kita jumpai hingga waktu sekarang ini.”
Ia wafat pada tahun 181 H di kota Hit yang terletak di tepi
sungai Euphrat.
Nama sebenarnya adalah Abu Sufyan Wakie’ bin al Jarrah bin Malikh
bin ‘Adiy, Ia dilahirkan pada tahun 127 H, Ia seorang ulama dari tabi’it
tabi’in dan seorang hafidh ahli hadist yang besar, Imam dari ulama ulama Kufah
dalam bidang hadist dan lainnya. Ia menerima hadits dari al-a’Masy Hisyam bin
Urwah, Abdullah bin Aun, atsTsaury, ibnu Uyainah dan yang lainnya.
Para ulama hadits
mengakui ketinggian ilmunya Waki’ dalam bidang hadits dan kuat hapalannya.
Ahmad bin Hanbal berkata,” Telah diceritakan kepadaku oleh orang yang
belum pernah mata anda melihatnya yang seperlunya, yaitu Wakie’ ibn al-Jarrah”.
Ahmad berkata
pula,” Belum pernah saya melihat seorang ulama tentang hal ilmu,
hapalan sanad adalah Wakie’, dia menghapal hadist, mendalami fiqih dan ijtihad,
dan dia tidak pernah mencela seseorang”.
Ibnu Ma’in
berkata,” Belum pernah aku melihat orang yang meriwayatkan hadist
semata mata karena Allah selain daripada Wakie’”.
Ibnu Amar berkata,”
Tidak ada di Kufah orang yang lebih alim dari pada Waki’ dan lebih hapal, dia
dimasanya sama dengan al-Auza’iy.”. Ia wafat pada tahun 197 H.
Nama sebenarnya adalah
Abu Sa’id Abdurahman ibn Mahdy bin Hasan bin Abdurahman al-‘Ambari al-Bashry,
Ia dilahirkan pada tahun 135 H, Seorang imam hadist yang menjadi peganggan umat
di masanya. Ia menerima hadits dari Khalid bin Dinar, Malik bin Makhul, Malik
bin anas, Sufyan ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah dan dari yang lainnya.
Diantara yang menerima
hadist darinya adalah Ibnu Wahab, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Ma’in, Ibnu Madiny,
Ishaq bin Rahawaih, Abu Ubaid al Qasim, Ibn Salam dan lainnya. Para ulama
mengakui ketinggian ilmu beliau dalam hal hadist, Ahmad bin Hanbal
berkata,” Ibn Mahdi diciptakann Allah untuk memahami hadits”. Ali
bin al-Madany berkata,” Saya belum pernah melihat orang Alim dari pada
Ibn Mahdy”.
Beliau sendiri pernah
berkata,” Tidak boleh seseorang dikatakan telah menjadi Imam dalam
bidang hadist sehingga orang tersebut mengetahui mana mana hadist hadist shahih
dan mengetahui makhraj makhraj ilmu”. Ia wafat pada tahun 198 H
Nama sebenarnya adalah
Abu Sa’id Yahya bin Sa’id bin Farukh at Tamimi al-Bashry
al-Qaththan, seorang ulama dari kalangan Tabi’it Tabi’in ia dilahirkan
pada tahun 127 H. Ia menerima hadits dari Yahya bin Sa’id al-Anshary, Ibnu
Juraij, Sa;id bin Arubah, ats Tsaury, Ibnu Uyainah, Malik, Syu’bah dan lain
lainnya.
Diantara murid murinya
adalah Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Ali bin al-Madainy, Ishaq bin
Rahawaih, Ibnu Mandie, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam dan lain lainnya. Para
ulama sepakat mengatakan bahwa ia ulama besar di bidang hadits, kuat
hapalannya, luas ilmunya serta dikenal dengan orang yang shalih, Hal ini diakui
kebanyakan ulama hadits.
Ahmad bin HAmbal
berkata,” Belum pernah aku melihat ulama yang sebanding dengan Yahya dalam
segala kedudukannya”. Ibnu Manjuwaih berkata,” Yahya al-Qaththan
adalah penghulu ilmu, baik dalam bidang hadist maupun dalam bidang fiqih, dia
yang merintis menulis hadist bagi ulama di Iraq dan ia tekun membahas tentang
perawi perawi hadist yang tsiqah”.
Ia wafat pada tahu 198 H
Di kampung miskin di
kota Ghazzah (orang Barat menyebutnya Gaza ) di bumi Palestina, pada th. 150 H
(bertepatan dengan th. 694 M) lahirlah seorang bayi lelaki dari pasangan suami
istri yang berbahagia, Idris bin Abbas Asy-Syafi`ie dengan seorang wanita dari
suku Azad. Bayi lelaki keturunan Quraisy ini akhirnya dinamai Muhammad bin
Idris Asy-Syafi`ie . Demikian nama lengkapnya sang bayi itu. Namun kebahagiaan
keluarga miskin ini dengan kelahiran bayi tersebut tidaklah berlangsung lama.
Karena beberapa saat setelah kelahiran itu, terjadilah peristiwa menyedihkan,
yaitu ayah sang bayi meninggal dunia dalam usia yang masih muda. Bayi lelaki
yang rupawan itu pun akhirnya hidup sebagai anak yatim.
Sang ibu sangat
menyayangi bayinya, sehingga anak yatim Quraisy itu tumbuh sebagai bayi yang
sehat. Maka ketika ia telah berusia dua tahun, dibawalah oleh ibunya ke Makkah
untuk tinggal di tengah keluarga ayahnya di kampung Bani Mutthalib. Karena anak
yatim ini, dari sisi nasab ayahnya, berasal dari keturunan seorang Shahabat
Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang bernama Syafi’
bin As-Sa’ib. Dan As-Sa’ib ayahnya Syafi’, sempat tertawan dalam perang Badr
sebagai seorang musyrik kemudian As-Sa’ib menebus dirinya dengan uang jaminan
untuk mendapatkan status pembebasan dari tawanan Muslimin. Dan setelah dia
dibebaskan, iapun masuk Islam di tangan Rasulullah shallallahu `alaihi
wa alihi wasallam .
Maka nasab bayi yatim
ini secara lengkap adalah sebagai berikut: Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin
Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin
Al-Mutthalib bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay
bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin
Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Dari nasab
tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie,
adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam . Kemudian juga saudara kandung Abdul
Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi
wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid,
sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin
As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut
dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris
Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan
Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Bahkan
karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah
saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani
Mutthalib, maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda:
“Hanyalah kami (yakni
Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab.
Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.” (HR. Abu
Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal.
65 – 66).
Di lingkungan Bani
Al-Mutthalib, dia tumbuh menjadi anak lelaki yang penuh vitalitas. Di usia
kanak-kanaknya, dia sibuk dengan latihan memanah sehingga di kalangan teman
sebayanya, dia amat jitu memanah. Bahkan dari sepuluh anak panah yang
dilemparkannya, sepuluh yang kena sasaran, sehingga dia terkenal sebagai anak
muda yang ahli memanah. Demikian terus kesibukannya dalam panah memanah
sehingga ada seorang ahli kedokteran medis waktu itu yang menasehatinya. Dokter
itu menyatakan kepadanya: “Bila engkau terus menerus demikian, maka sangat
dikuatirkan akan terkena penyakit luka pada paru-parumu karena engkau terlalu
banyak berdiri di bawah panas terik mata hari.” Maka mulailah anak yatim ini
mengurangi kegiatan panah memanah dan mengisi waktu dengan belajar bahasa Arab
dan menekuni bait-bait sya’ir Arab sehingga dalam sekejab, anak muda dari
Quraisy ini menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya dalam usia
kanak-kanak. Di samping itu dia juga menghafal Al-Qur’an, sehingga pada usia
tujuh tahun telah menghafal di luar kepala Al-Qur’an keseluruhannya.
Demi ia merasakan manisnya
ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari
fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini
belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin
khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah. Kemudian
beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari
pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari
Sufyan bin Uyainah. Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi
Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi
yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa
tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana
tersebut di atas. Ia pun demi kehausan ilmu, akhirnya berangkat dari Makkah
menuju Al-Madinah An Nabawiyah guna belajar di halaqah Imam Malik bin Anas di
sana. Di majlis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami
dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ .
Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie
sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam
Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Beliau menyatakan
kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi:
“Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan
hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya
kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi
bintang di majlis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam
Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat
setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .”
Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik,
kecuali mesti bertambah pemahamanku.” Dari berbagai pernyataan beliau di atas
dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin
Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk
menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti
Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz
Ad-Darawardi. Beliau banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi
Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta
dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab
Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal
lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai
Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut
nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
Ketika Muhammad bin
Idris As-Syafi’i Al-Mutthalibi Al-Qurasyi telah berusia dua puluh tahun, dia
sudah memiliki kedudukan yang tinggi di kalangan Ulama’ di jamannya dalam
berfatwa dan berbagai ilmu yang berkisar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tetapi
beliau tidak mau berpuas diri dengan ilmu yang dicapainya. Maka beliaupun
berangkat menuju negeri Yaman demi menyerap ilmu dari para Ulama’nya.
Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti:
Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya.
Dari Yaman, beliau melanjutkan tourilmiahnya ke kota Baghdad di
Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan,
seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin
Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sejak di kota Baghdad,
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie mulai dikerumuni para muridnya dan mulai
menulis berbagai keterangan agama. Juga beliau mulai membantah beberapa
keterangan para Imam ahli fiqih, dalam rangka mengikuti sunnah Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Kitab fiqih
dan Ushul Fiqih pun mulai ditulisnya. Populariti beliau di dunia Islam yang semakin luas
menyebabkan banyak orang semakin kagum dengan ilmunya sehingga orang pun
berbondong-bondong mendatangi majlis ilmu beliau untuk menimba ilmu.
Tersebutlah tokoh-tokoh ilmu agama ini yang mendatangi majlis beliau untuk
menimba ilmu padanya seperti Abu Bakr Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi (beliau
ini adalah salah seorang guru Al-Imam Al-Bukhari), Abu Ubaid Al-Qasim bin
Sallam, Ahmad bin Hanbal (yang kemudian terkenal dengan nama Imam Hanbali),
Sulaiman bin Dawud Al-Hasyimi, Abu Ya’qub Yusuf Al-Buaithi, Abu Tsaur Ibrahim
bin Khalid Al-Kalbi, Harmalah bin Yahya, Musa bin Abil Jarud Al-Makki, Abdul
Aziz bin Yahya Al-Kinani Al-Makki (pengarang kitab Al-Haidah ),
Husain bin Ali Al-Karabisi (beliau ini sempat di tahdzir oleh
Imam Ahmad karena berpendapat bahwa lafadh orang yang membaca Al-Qur’an adalah
makhluq), Ibrahim bin Al-Mundzir Al-Hizami, Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani,
Ahmad bin Muhammad Al-Azraqi, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh ilmu yang
lainnya. Dari murid-murid beliau di Baghdad, yang paling terkenal sangat
mengagumi beliau adalah Imam Ahmad bin Hanbal atau terkenal dengan gelar Imam
Hanbali.
Diriwayatkan oleh
Al-Imam Al-Mizzi dengan sanadnya bersambung kepada Imam Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal (putra Imam Hanbali). Beliau menceritakan: “Aku pernah bertanya kepada
ayahku: “Wahai ayah, siapa sesungguhnya
As-Syafi`ie itu, karena aku terus-menerus mendengar ayah mendoakannya?”
Maka ayahku menjawab: “Wahai anakku,
sesungguhnya As-Syafi`ie itu adalah bagaikan matahari untuk dunia ini, dan ia
juga sebagai kesejahteraan bagi sekalian manusia. Maka silakan engkau cari,
adakah orang yang seperti beliau dalam dua fungsi ini (yakni fungsi sebagai
matahari dan kesejahteraan) dan adakah pengganti fungsi beliau tersebut?”.”
Diriwayatkan pula bahwa Sulaiman bin Al-Asy’ats menyatakan: “Aku melihat bahwa
Ahmad bin Hanbal tidaklah condong kepada seorangpun seperti condongnya kepada
As-Syafi`ie.” Al-Maimuni meriwayatkan bahwa Imam Hanbali menyatakan: “Aku tidak pernah meninggalkan doa kepada
Allah di sepertiga terakhir malam untuk enam orang. Salah satunya ialah untuk
As-Syafi`ie.”
Diriwayatkan pula oleh
Imam Shalih bin Ahmad bin Hanbal (putra Imam Hanbali): “Pernah ayahku berjalan
di samping keledai yang ditumpangi Imam Syafi`ie untuk bertanya-tanya ilmu
kepadanya. Maka melihat demikian, Yahya bin Ma’ien sahabat ayahku mengirim
orang untuk menegur beliau. Yahya menyatakan kepadanya: “Wahai Aba Abdillah ( kuniah bagi
Imam Hanbali), mengapa engkau ridla untuk berjalan dengan keledainya
As-Syafi`ie?”. Maka ayah pun menyatakan kepada Yahya: “Wahai Aba Zakaria ( kuniah bagi
Yahya bin Ma’ien), seandainya engkau berjalan di sisi lain dari keledai itu,
niscaya akan lebih bermanfaat bagimu”.” Di samping Imam Hanbali yang sangat
mengaguminya, juga diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Tarikhnya
dengan sanadnya dari Abu Tsaur.
Dia menceritakan:
“Abdurrahman bin Mahdi pernah menulis surat kepada As-Syafi`ie, dan waktu itu
As-Syafi`ie masih muda belia. Dalam surat itu Abdurrahman meminta kepadanya
untuk menuliskan untuknya sebuah kitab yang terdapat padanya makna-makna Al
Qur’an, dan juga mengumpulkan berbagai macam tingkatan hadits, keterangan
tentang kedudukan ijma’ (kesepakatan Ulama’) sebagai hujjah / dalil, keterangan
hukum yang nasikh (yakni hukum yang menghapus hukum lainnya) dan hukum yang
mansukh (yakni hukum yang telah dihapus oleh hukum yang lainnya), baik yang ada
di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Maka As-Syafi`ie muda
menuliskan untuknya kitab Ar-Risalah dan kemudian
dikirimkan kepada Abdurrahman bin Mahdi. Begitu membaca kitabAr-Risalah ini,
Abdurrahman menjadi sangat kagum dan sangat senang kepada As-Syafi`ie sehingga
beliau menyatakan: “Setiap aku shalat, aku selalu mendoakan As-Syafi`ie.”
Kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi`ie akhirnya menjadi
kitab rujukan utama bagi para Ulama’ dalam ilmu Ushul Fiqih sampai hari ini.
Pujian para Ulama’ dan kekaguman mereka bukan saja datang dari orang-orang yang
seangkatan dengan beliau dalam ilmu, akan tetapi datang pula pujian itu dari
para Ulama’ yang menjadi guru beliau. Antara lain ialah Sufyan bin Uyainah,
salah seorang guru beliau yang sangat dikaguminya. Sebaliknya Sufyan pun sangat
mengagumi Imam As-Syafi`ie, sampai diceritakan oleh Suwaid bin Saied sebagai
berikut: “Aku pernah duduk di majlis ilmunya Sufyan bin Uyainah. As-Syafi`ie
datang ke majlis itu, masuk sembari mengucapkan salam dan langsung duduk untuk
mendengarkan Sufyan yang sedang menyampaikan ilmu. Waktu itu Sufyan sedang
membaca sebuah hadits yang sangat menyentuh hati. Betapa lembutnya hati beliau
saat mendengar hadits itu menyebabkan As-Syafi`ie mendadak pingsan. Orang-orang
di majlis itu menyangka bahwa As-Syafi`ie meninggal dunia sehingga peristiwa
ini dilaporkan kepada Sufyan: “Wahai Aba
Muhammad (kuniah bagi Sufyan bin Uyainah), Muhammad bin Idris telah meninggal
dunia”. Maka Sufyan pun menyatakan: “Bila
memang dia meninggal dunia, maka sungguh telah meninggal orang yang terbaik
bagi ummat ini di jamannya”.” Demikian pujian para Ulama’ yang sebagiannya
kami nukilkan dalam tulisan ini untuk menggambarkan kepada para pembaca
sekalian betapa beliau sangat tinggi kedudukannya di kalangan para Ulama yang sejaman
dengannya. Apalagi tentunya para ulama’ yang sesudahnya.
Imam As-Syafi`ie tinggal
di Baghdad hanya dua tahun. Setelah itu beliau pindah ke Mesir dan tinggal di
sana sampai beliau wafat pada th. 204 H dan usia beliau ketika wafat 54 th.
Beliau telah meninggalkan warisan yang tak ternilai, yaitu ilmu yang beliau
tulis di kitab Ar-Risalah dalam ilmu Ushul Fiqih. Di
samping itu beliau juga menulis kitab Musnad As-Syafi`ie ,
berupa kumpulan hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang
diriwayatkan oleh beliau; dan kitab Al-Um berupa
kumpulan keterangan beliau dalam masalah fiqih. Sebagaimana Al-Um ,
kumpulan riwayat keterangan Imam As Syafi`ie dalam fiqih juga disusun oleh
Al-Imam Al-Baihaqi dan diberi nama Ma’rifatul Aatsar was Sunan .
Al-Imam Abu Nu’aim Al-Asfahani membawakan beberapa riwayat nasehat dan
pernyataan Imam As-Syafi`ie dalam berbagai masalah yang menunjukkan pendirian
Imam As-Syafi`ie dalam memahami agama ini. Beberapa riwayat Abu Nu’aim tersebut
kami nukilkan sebagai berikut :
Imam As-Syafi`ie
menyatakan: “Bila aku melihat Ahli Hadits, seakan aku melihat seorang dari
Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .”
(HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya
juz 9 hal. 109)
Ini menunjukkan betapa
tinggi penghargaan beliau kepada para Ahli Hadits. Imam As-Syafi`ie menyatakan:
“Sungguh seandainya seseorang itu ditimpa dengan berbagai amalan yang dilarang
oleh Allah selain dosa syirik, lebih baik baginya daripada dia mempelajari ilmu
kalam.” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya
juz 9 hal. 111)
Beliau menyatakan juga:
“Seandainya manusia itu mengerti bahaya yang ada dalam Ilmu Kalam dan hawa
nafsu, niscaya dia akan lari daripadanya seperti dia lari dari macan.” Ini
menunjukkan betapa anti patinya beliau terhadap Ilmu Kalam, suatu ilmu yang
membahas perkara Tauhid dengan metode pembahasan ilmu filsafat. Diriwayatkan
oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman bahwa dia menyatakan: Aku mendengar As-Syafi`ie
berkata:
“Barangsiapa mengatakan
bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir.” ((HR. Abu
Nu’aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9
hal. 113)
Diriwayatkan pula oleh
Abu Nu’aim Al-Asfahani bahwa Al-Imam As-Syafi`ie telah mengkafirkan seorang
tokoh ahli Ilmu Kalam yang terkenal dengan nama Hafs Al-Fardi, karena dia menyatakan
di hadapan beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk. Demikian tegas Imam
As-Syafi`ie dalam menilai mereka yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
Dan memang para Ulama’ Ahlis Sunnah wal Jama’ah telah sepakat untuk
mengkafirkan siapa yang meyakini bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
Al-Imam Adz-Dzahabi
meriwayatkan pula dengan sanadnya dari Al-Buwaithie yang menyatakan: “Aku
bertanya kepada As-Syafi`ie: “Bolehkah
aku shalat di belakang imam yang Rafidli?” Maka beliau pun menjawabnya: “Jangan engkau shalat di belakang imam yang
Rafidli, ataupun Qadari ataupun Murji’ie”. Akupun bertanya lagi kepada
beliau: “Terangkan kepadaku tentang
siapakah masing-masing dari mereka itu?” Maka beliau pun menjawab: “Barang siapa yang mengatakan bahwa iman itu
hanya perkataan lisan dan hati belaka, maka dia itu adalah murji’ie;
barangsiapa yang mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar itu bukan Imamnya
Muslimin, maka dia itu adalah rafidli. Barangsiapa yang mengatakan bahwa
kehendak berbuat itu sepenuhnya dari dirinya (yakni tidak meyakini bahwa
kehendak berbuat itu diciptakan oleh Allah ), maka dia itu adalah qadari”.”
Demikian Imam As-Syafi`i
mengajarkan sikap terhadap Ahlil Bid’ah seperti yang disebutkan contohnya dalam
pernyataan beliau, yaitu orang-orang yang mengikuti aliran Rafidlah yang di
Indonesia sering dinamakan Syi’ah. Aliran Syiah terkenal dengan sikap kebencian
mereka kepada para Shahabat Nabishallallahu `alaihi wa alihi wasallam ,
khususnya Abu Bakar dan Umar. Di samping Rafidlah, masih ada aliran bid’ah lainnya
seperti Qadariyah yaitu aliran pemahaman yang menolak beriman kepada rukun iman
yang keenam (yaitu keimanan kepada adanya taqdir Allah Ta`ala). Juga aliran
Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu hanya keyakinan yang ada di hati dan
amalan itu tidak termasuk dari iman. Murji’ah juga menyatakan bahwa iman itu
tidak bertambah dengan perbuatan ketaatan kepada Allah dan tidak pula berkurang
dengan kemaksiatan kepada Allah. Semua ini adalah pemikiran sesat, yang menjadi
alasan bagi Imam As-Syafi`ie untuk melarang orang shalat di belakang imam yang
berpandangan dengan salah satu dari pemikiran-pemikiran sesat ini.
Imam As-Syafi`ie juga
amat keras menganjurkan ummat Islam untuk jangan ber taqlid (yakni
mengikut dengan membabi buta) kepada seseorang pun sehingga meninggalkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah ketika pendapat orang yang diikutinya itu menyelisihi
pendapat keduanya. Hal ini dinyatakan oleh beliau dalam beberapa pesan sebagai
berikut:
Al-Hafidh Abu Nu`aim
Al-Asfahani meriwayatkan dalam Hilyah nya dengan sanad
yang shahih riwayat Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, katanya: “Ayahku telah
menceritakan kepadaku bahwa Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie berkata: “Wahai Aba Abdillah (yakni Ahmad bin
Hanbal), engkau lebih mengetahui hadits-hadits shahih dari kami. Maka bila ada
hadits yang shahih, beritahukanlah kepadaku sehingga aku akan bermadzhab
dengannya. Sama saja bagiku, apakah perawinya itu orang Kufah, ataukah orang
Basrah, ataukah orang Syam”.”
Demikianlah para Ulama’
bersikap tawadlu’ sebagai kepribadian utama mereka. Sehingga tidak menjadi
masalah bagi mereka bila guru mengambil manfaat dari muridnya dan muridnya yang
diambil manfaat oleh gurunya tidak pula kemudian menjadi congkak dengannya.
Tetap saja sang murid mengakui dan mengambil manfaat dari gurunya, meskipun
sang guru mengakui di depan umum tentang ketinggian ilmu si murid. Guru-guru
utama Imam Asy Syafi`ie, Imam Malik dan Imam Sufyan bin Uyainah, dengan
terang-terangan mengakui keutamaan ilmu As-Syafi`ie. Bahkan Imam Sufyan bin
Uyainah banyak bertanya kepada Imam Asy-Syafi`ie saat Imam Syafi’ie ada di
majelisnya. Padahal Imam Asy-Syafi`ie duduk di majlis itu sebagai salah satu
murid beliau, dan bersama para hadirin yang lainnya, mereka selalu mengerumuni
Imam Sufyan untuk menimba ilmu daripadanya. Tetapi meskipun demikian, Imam
Syafi`ie tidak terpengaruh oleh sanjungan gurunya. Beliau tetap mendatangi majlis
gurunya dan memuliakannya. Di samping itu, hal yang amat penting pula dari
pernyataan Imam Asy-Syafi`ie kepada Imam Ahmad bin Hanbal tersebut di atas,
menunjukkan kepada kita betapa kuatnya semangat beliau dalam merujuk kepada
hadits shahih untuk menjadi pegangan dalam bermadzhab, dari manapun hadits
shahih itu berasal.
Imam Asy-Syafi`ie
menyatakan pula: “Semua hadits yang dari Nabishallallahu `alaihi wa alihi
wasallam maka itu adalah sebagai omonganku. Walaupun kalian tidak
mendengarnya dariku.”
Demikian beliau
memberikan patokan kepada para murid beliau, bahwa hadits shahih itu adalah
dalil yang sah bagi segala pendapat dalam agama ini. Maka pendapat dari
siapapun bila menyelisihi hadits yang shahih, tentu tidak akan bisa
menggugurkan hadits shahih itu. Bahkan sebaliknya, pendapat yang demikianlah
yang harus digugurkan dengan adanya hadits shahih yang menyelisihinya.
P e n u t u p :
Masih banyak mutiara
hikmah yang ingin kami tuangkan dalam tulisan ini dari peri hidup Imam
Asy-Syafi`ie. Namun dalam kesempatan ini, rasanya tidak cukup halaman yang
tersedia untuk memuat segala kemilau mutiara hikmah peri hidup beliau itu.
Bahkan telah ditulis oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah wal Jamaah kitab-kitab
tebal yang berisi untaian mutiara hikmah peri hidup Imam besar ini. Seperti
Al-Imam Al-Baihaqi menulis kitabManaqibus Syafi`ie , juga
Ar-Razi menulis kitab dengan judul yang sama. Kemudian Ibnu Abi Hatim menulis
kitab berjudul Aadaabus Syaafi’ie . Dan masih banyak
lagi yang lainnya. Itu semua menunjukkan kepada kita, betapa agungnya Imam
besar ini di mata para Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Semoga Allah Ta`ala
menggabungkan kita di barisan mereka di hari kiamat nanti. Amin ya
Mujibas sa’ilin .
No comments:
Post a Comment