Kemudian
murid-muridnya seperti
Nama sebenarnya adalah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim dijuluki dengan Abu Abdillah. Ia lahir di
Bukhara pada tahun 194 H. Semua Ulama, baik dari gurunya maupun dari sahabatnya
memuji dan mengakui ketinggian ilmunya, Ia seorang Imam yang tidak tercela
hapalan haditsnya dan kecermatannya. Ia mulai menghapal hadits ketika umurnya
belum mencapai 10 tahun, ia mencatat dari seribu guru lebih, ia hapal 100.000
hadits shahih dan 200.000 hadits tidak shahih.
Dia mengarang kitab
besar Al-Jami’ ash Shahih yang merupakan kitab paling
shahih sesudah Al-Quran, hadits yang ia dengar sendiri dari gurunya lebih dari
70.000 buah, ia dengan tekun mengumpulkannya selama 16 tahun.a hafiz mempunyai
beberapa komentar terhadap sebagian haditsnya, mereka telah melontarkan kritik
atas 110 buah diantaranya. Dari 110 hadits itu ditakhtijkan oleh Imam Muslim
sebanyak 32 hadits dan oleh dia sendiri sebanyak 78 hadits. Ibnu Hajar
al-Asqalani berpendapat bahwa hadits hadits yang dipersoalkan ini “ tidak
seluruhnya ber’illat tercela, melainkan kebanyakan jawabannya mengandung
kemungkinan dan sedikit dari jawabannya menyimpang”.
Kitab Shahih Bukhari mempunyai
banyak syarah yang oleh pengarang kitab Kasyf adh-Dhunun disebutkan 82 syarah
diantaranya. Tetapi yang paling utama adalah syarah Ibnu Hajar al-Asqalani yang
bernama Fat al-Bari, dan berikutnya syarah Al-Asthalani, kemudian syarah
al-Aini Umdat al Qari.
Al Bukhari mempunyai
banyak kitab, antara lain At-Tawarikh ats Tsalatsah al-Kabir wal Ausath wash
Shaghir (Tiga Tarikh: Besar, sedang, dan Kecil), kitab al-Kuna, Kitab
Al-Wuhdan, kitab al-Adab al-Mufrad dan kitab Adl-Dlu’afa dan lain lainnya.
At-Tirmidzi berkata
tentangnya:”Saya tidak pernah melihat orang yang dalam hal illat dan rijal,
lebih mengerti daripada Al-Bukhari”. Ibnu Khuzaimah berkata:” Aku
tidak melihat dibawah permukaan langit seseorang yang lebih tahu tentang hadits
Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wassalam daripada Muhammad bin Ismail Al-Bukhari”.
Muslim bin al Hajjaj
pernah datang kepadanya lalu mencium antara kedua matanya, seraya
berkata:” Biarkan saya mencium kedua kakimu, wahai guru para guru,
pemimpin para ahli hadits dan dokter penyakit hadits.” Abu Nu’im dan Ahmad
ibn Ahmad berkata:” Al-Bukhari adalah faqih (ahli hukum) dari ummat ini.”
Abu Muhammad Abdullah
bin Abdurahman Ad-Darimy berkata:” Muhammad ibn Ismail (Bukhari) orang
yang tercakap dalam bidang hukum dari antara kami dan lebih banyak mencari
hadits.” Telah dipaparkan dalam pembahasan hadits Maqlub, ketika para ulama
baghdad sengaja memutar balikan seratus hadits, lalu Al-Bukhari mengembalikan
setiap matan kepada sanad yang sebenarnya dan setiap sanad kepada matannya, sehingga
membuat para ulama kagum akan hapalan dan kecermatannya. Dalam rangka meneliti
dan menghapal hadits, Al Bukhari tidak segan segan melakukan perjalanan ke
Syam, Mesir, Baghdad, Kufah, Jazirah, Hijaz dan Basrah
Al-Bukhari adalah salah
seorang dari imam Mujtahid dalam bidang fiqh dan dalam bidang mengistibathkan
hukum dari hadits.
Al-Bukhari meriwayatkan
hadits bersumber dari Adl-Dlahhak bin Mukhallad Abu Ashim an-Nabil, Makki bin
Ibrahim al-Handlali, Ubaidullah bin Musa al-Abbasi, Abdullah Quddus bin al-Hajjaj,
Muhammad bin Abdullah al-Anshari dan lain lain.
Sedangkan yang
meriwayatkan darinya banyak sekali diantaranya: At-Tirmidzi, Muslim, An-Nasa’I,
Ibrahim bin Ishak al-Hurri, Muhammad bin Ahmad ad-Daulabi, dan orang terakhir
yang meriwayatkan darinya adalah Manshur bin Muhammad al Bazwadi.
Ia wafat pada tahun 256
H di Samarkand yang bernama Khartank
IMAM BUKHARI (194-256H)
Negeri Bukhara sebagai negeri muara sungai Jihun yang
terletak di sebelah utara Afghanistan dan sebelah selatan Ukraina adalah negeri
yang banyak melahirkan imam-imam Ahlul hadits dan Ahlul fiqh. Negeri itu
menyimpan kenangan sejarah perjuangan para imam-imam Muslimin dalam berbagai
bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dapat disebutkan di sini, para Imam
Ahlul Hadits yang lahir dan dibesarkan di negeri Bukhara antara lain adalah:
Al-Imam Abdullah bin Muhammad Abu Ja’far Al-Musnadi Al-Bukhari yang meninggal
dunia di negeri tersebut pada hari Kamis bulan Dzulqa’dah tahun 220 H. dan
kemudian juga lahir di Bukhara, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim
Al-Bukhari yang lahir pada tahun 194 Hijriyah dan wafat pada tahun 256 H di
sebuah desa bernama Khortanak menuju arah Samarkan. Juga lahir dan dibesarkan
di negeri ini Al-Imam Abi Naser Ahmad bin Muhammad bin Al-Husain Al-Kalabadzi
Al-Bukhari yang lahir tahun 323 H dan meninggal tahun 398 H. dan masih banyak
lagi deretan para imam-imam besar Ahli hadits yang menghiasi indahnya sekarah
negeri Bukhara.
Tetapi di masa kini kaum Muslimin di dunia, apabila disebut
Imam Bukhari, maka yang dipahami hanyalah Imam Ahlul Hadits dari negeri Bukhara
yang bernama Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah Al-Bukhari. Karena
karya beliau yang amat masyhur di kalangan kaum Muslimin di dunia ialah:
Al-Jami’us Shahih Al-Musnad min Haditsi Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi yang
kemudian terkenal dengan nama kitab Shahih Al-Bukhari. Kata “Bukhari” itu
sendiri maknanya ialah: Orang dari negeri Bukhara. Jadi kalau dikatakan “Imam
Bukhari” maknanya ialah seorang tokoh dari negeri Bukhara.
Al-Bukhari Di Masa Kecil
Nasab kelengkapan dari tokoh yang sedang kita bincangkan
ini adalah sebagai berikut: Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin
Bardizbah. Kakek (Zoroaster) sebagai agama asli orang-orang Persia yang
menyembah api. Sang kakek tersebut meninggal dalam keadaan masih beragama
Majusi. Putra dari Bardizbah yang bernama Al-Mughirah kemudian masuk Islam di
bawah bimbingan gubernur negeri Bukhara Yaman Al-Ju’fi sehingga Al-Mughirah
dengan segenap anak cucunya dinisbatkan kepada kabilah Al-Ju’fi. Dan ternyata
cucu dari Al-Mughirah ini di kemudian hari mengukir sejarah yang agung, yaitu
sebagai seorang Imam Ahlul Hadits.
Al-Imam Al-Bukhari lahir pada hari Jum’at tanggal 13 Syawal
194 H di negeri Bukhara di tengah keluarganya yang cinta ilmu sunnah Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam. Karena ayah beliau bernama Ismail bin
Ibrahim bin Al-Mughirah adalah seorang ulama Ahli hadits yang meriwayatkan
hadits-hadits Nabi dari Imam Malik bin Anas, Hammad bin Zaid, dan sempat pula
berpegang tangan dengan Abdullah bin Mubarak. Riwayat-riwayat Ismail bin
Ibrahim tentang hadits Nabi tersebar di kalangan orang-orang Iraq.
Ayah Al-Bukhari meninggal dunia ketika beliau masih kecil.
Di saat menjelang wafatnya, Ismail bin Ibrahim sempat membesarkan hati anaknya
yang masih kecil sembari menyatakan kepadanya: “Aku tidak mendapati pada
hartaku satu dirham pun dari harta yang haram atau satu dirham pun dari harta
yang syubhat.” Tentu anak yang ditumbuhkan dari harta yang bersih dari perkara
haram atau syubhat akan lebih baik dan mudah dididik kepada yang baik. Sehingga
sejak wafatnya sang ayah, Al-Bukhari hidup sebagai anak yatim dalam dekapan
kasih sayang ibunya.
Muhammad bin Ismail mendapat perhatian penuh dari ibunya.
Sejak usianya yang masih muda dia telah hafal Al-Qur’an dan tentunya belajar
membaca dan menulis. Kemudian pada usia sepuluh tahun, Muhammad kecil mulai
bersemangat mendatangi majelis-majlis ilmu hadits yang tersebar di berbagai
tempat di negeri Bukhara. Pada usia sebelas tahun, dia sudah mampu menegur
seorang guru ilmu hadits yang salah dalam menyampaikan urut-urutan periwayatan
hadits (yang disebut sanad). Usia kanak-kanak beliau dihabiskan dalam kegiatan
menghafal ilmu dan memahaminya sehingga ketika menginjak usia remaja –enam
belas tahun–, beliau telah hafal kitab-kitab karya imam-imam Ahli hadits dari
kalangan tabi’it tabi’in (generasi ketiga umat Islam), seperti karya Abdullah
bin Al-Mubarak, Waqi’ bin Al-Jarrah, dan memahami betul kitab-kitab tersebut.
Usia kanak-kanak Muhammad bin Ismail telah berlalu dengan
agenda belajar yang amat padat. Kesibukannya di masa kanak-kanak dalam
menghafal dan memahami ilmu, mengantarkannya kepada masa remaja yang cemerlang
dan menakjubkan. Kini ia menjadi remaja yang amat diperhitungkan orang di majlis
manapun dia hadir. Karena dalam usia belasan tahun seperti ini dia telah hafal
di luar kepala tujupuluh ribu hadits lengkap dengan sanadnya di samping
tentunya Al-Qur’an tiga puluh juz.
Melanglang Buana Menuntut Ilmu
Di awal usianya yang ke delapan belas, Al-Bukhari diajak
ibunya bersama kakaknya bernama Ahmad bin Ismail berangkat ke Makkah untuk
menunaikan ibadah haji. Perjalanan jauh antara negeri Bukhara dengan Mekkah
menunggang unta, keledai dan kuda adalah pengalaman baru baginya. Sehingga dia
terbiasa dengan berbagai kesengsaraan perjalanan jauh mengarungi padang pasir,
gunung-gunung dan lembahnya yang penuh keganasan alam. Dalam kondisi yang
demikian, dia merasa semakin dekat kepada Allah dan dia benar-benar menikmati
perjalanan yang memakan waktu berbulan-bulan itu. Sesampainya di Makkah,
Al-Bukhari mendapati kota Makkah penuh dengan ulama Ahli Hadits yang membuka
halaqah-halaqah ilmu. Tentu yang demikian ini semakin menggembirakan beliau.
Oleh karena itu, setelah selsai pelaksanaan ibadah haji, beliau tetap tinggal
di Makkah sementara kakak kandungnya kembali ke Bukhara bersama ibunya. Beliau
bolak-balik antara Makkah dan Madinah, kemudian akhirnya mulai menulis biografi
para tokoh. Sehingga lahirlah untuk pertama kalinya karya beliau dalam bidang
ilmu hadits yang berjudul Kitabut Tarikh. Ketika kitab karya beliau ini mulai
tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam, ramailah pembicaraan orang tentang
tokoh ilmu hadits tersebut dan semua orang amat mengaguminya.
Sampai-sampai seorang Imam Ahli Hadits di masa itu yang
bernama Ishaq bin Rahuyah membawa Kitabut Tarikh karya Al-Bukhari ini ke
hadapan gubernur negeri Khurasan yang bernama Abdullah bin Thahir Al-Khuza’i,
sembari mengatakan: “Wahai tuan gubernur, maukah aku tunjukkan kepadamu atraksi
sihir?” Kemudian ditunjukkan kepadanya kitab ini. Maka gubernur pun membaca
kitab tersebut dan beliau sangat kagum dengannya. Sehingga tuan gubernur pun
mengatakan: “Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa mengarang kitab ini.”
Al-Imam Al-Bukhari pun akhirnya menjadi amat terkenal di berbagai negeri Islam.
Ketika Al-Imam Al-Bukhari berkeliling ke berbagai negeri tersebut, beliau
mendapati betapa para ulama Ahlul Hadits di setiap negeri tersebut sangat
menghormatinya. Beliau berkeliling ke berbagai negeri pusat-pusat ilmu hadits
seperti Mesir, Syam, Baghdad (Iraq), Bashrah, Kufah dan lain-lainnya.
Di saat berkeliling ke berbagai negeri itu, beliau suatu
hari duduk di majlisnya Ishaq bin Rahuyah. Di sana ada satu saran dari hadirin
untuk kiranya ada upaya mengumpulkan hadits-hadits Nabi dalam satu kitab.
Dengan usul ini mulailah Al-Imam Al-Bukhari menulis kitab shahihnya dan kitab
tersebut baru selesai dalam tempo enam belas tahun sesudah itu. Beliau
menuliskan dalam kitab ini hadits-hadits yang diyakini shahih oleh beliau
setelah menyaring dan meneliti enam ratus ribu hadits. Beliau pilih daripadanya
tujuh ribu dua ratus tujupuluh lima hadits shahih dan seluruhnya dikumpulkan
dalam satu kitab dengan judul Al-Jami’us Shahih Al-Musnad min Haditsi
Rasulillah wa Sunani wa Ayyamihi yang kemudian terkenal dengan nama kitab
Shahih Al-Bukhari. Kitab ini pun mendapat pujian dan sanjungan dari berbagai
pihak di seantero negeri-negeri Islam. Sehingga ketokohan beliau dalam ilmu
hadits semakin diakui kalangan luas dunia Islam. Para imam-imam Ahli Hadits
sangat memuliakannya, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ali bin Al-Madini, Yahya
bin Ma`in dan lain-lainnya.
Imam Al-Bukhari Disanjung Di Mana-Mana
Karya-karya beliau dalam bidang hadits terus mengalir dan
beredar di dunia Islam. Kepiawaian beliau dalam menyampaikan keterangan tentang
berbagai kepelikan di seputar ilmu hadits di berbagai majelis-majlis ilmu
bersinar cemerlang sehingga beliau dipuji dan diakui keilmuannya oleh para
gurunya dan para ulama yang setara ilmunya dengan beliau, lebih-lebih lagi oleh
para muridnya. Beliau menimba ilmu dari seribu lebih ulama dan semua mereka
selalu mempunyai kesan yang baik, bahkan kagum terhadap beliau.
Al-Imam Al-Hafidh Abil Hajjaj Yusuf bin Al-Mizzi
meriwayatkan dalam kitabnya yang berjudul Tahdzibul Kamal fi Asma’ir Rijal
beberapa riwayat pujian para ulama Ahli hadits dan sanjungan mereka terhadap
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Di antara beberapa riwayat itu antara lain
ialah pernyataan Al-Imam Mahmud bin An-Nadhir Abu Sahl Asy-Syafi’i yang
menyatakan: “Aku masuk ke berbagai negeri yaitu Basrah, Syam, Hijaz dan Kufah.
Aku melihat di berbagai negeri tersebut bahwa para ulamanya bila menyebutkan
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari selalu mereka lebih mengutamakannya daripada
diri-diri mereka.”
Karena itu majelis-majlis ilmu Al-Imam Al-Bukhari selalu
dijejali ribuan para penuntut ilmu. Dan bila beliau memasuki suatu negeri,
puluhan ribu bahkan ratusan ribu kaum Muslimin menyambutnya di perbatasan kota
karena beberapa hari sebelum kedatangan beliau, telah tersebar berita akan
datangnya Imam Ahlul Hadits, sehingga kaum Muslimin pun berjejal-jejal berdiri
di pinggir jalan yang akan dilewati beliau hanya untuk sekedar melihat wajah
beliau atau kalau bernasib baik, kiranya dapat bersalaman dengan beliau.
Al-Imam Muhammad bin Abi Hatim meriwayatkan bahwa Hasyid
bin Ismail dan seorang lagi (tidak disebutkan namanya), keduanya menceritakan:
“Para ulama Ahli Hadits di Bashrah di jaman Al-Bukhari masih hidup merasa lebih
rendah pengetahuannya dalam hadits dibanding Al-Imam Al-Bukhari. Padahal beliau
ini masih muda belia. Sehingga pernah ketika beliau berjalan di kota Bashrah,
beliau dikerumuni para penuntut ilmu. Akhirnya beliau dipaksa duduk di pinggir
jalan dan dikerumuni ribuan orang yang menanyakan kepada beliau berbagai
masalah agama. Padahal wajah beliau masih belum tumbuh rambut pada dagunya dan
juga belum tumbuh kumis.”
Datanglah Badai Menghempas
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dielu-elukan dan disanjung
orang di mana-mana. Pujian penuh ketakjuban datang dari segala penjuru negeri,
dan beliau dijadikan rujukan para ulama di masa muda belia. Di saat penuh
kesibukan ibadah dan ilmu yang menghiasi detik-detik kehidupan Al-Bukhari, pada
sebagian orang muncul iri dengki terhadap berbagai kemuliaan yang Allah
limpahkan kepadanya.
Badai itu bermula dari kedatangan beliau pada suatu hari di
negeri Naisabur dalam rangka menimba ilmu dari para imam-imam Ahli Hadits di
sana. Kedatangan beliau ke negeri tersebut bukanlah untuk pertama kalinya.
Beliau sebelumnya sudah berkali-kali berkunjung ke sana karena Nasaibur
termasuk salah satu pusat markas ilmu sunnah. Lagi pula di sana terdapat guru
beliau, seorang Ahli Hadits yang bernama Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli. Pada
suatu hari tersebarlah berita gembira di Naisabur bahwa Muhammad bin Ismail
Al-Bukhari akan datang ke negeri tersebut untuk tinggal padanya beberapa lama.
Bahkan Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli mengumumkan secara khusus di majlis
ilmunya dengan menyatakan: “Barangsiapa ingin menyambut Muhammad bin Ismail
besok, silakan menyambutnya karena aku akan menyambutnya.” Maka masyarakat luas
pun bergerak mengadakan persiapan untuk menyambut kedatangan Imam besar Ahli
Hadits di kota mereka.
Di hari kedatangan Imam Al-Bukhari itu, ribuan penduduk
Naisabur bergerombol di pinggir kota untuk menyambutnya. Di antara yang
berkerumun menunggu kedatangan beliau itu ialah Al-Imam Muhammad bin Yahya
Adz-Dzuhli bersama para ulama lainnya. Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ya’qub
Al-Akhram bahwa ketika Al-Bukhari sampai di pintu kota Naisabur, yang
menyambutnya sebanyak empat ribu orang berkuda, di samping yang menunggang
keledai dan himar serta ribuan pula yang berjalan kaki.”
Imam Muslim bin Al-Hajjaj menceritakan: “Ketika Muhammad
bin Ismail datang ke Naisabur, semua pejabat pemerintah dan semua ulama
menyambutnya di batas negeri.”
Ketika Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari sampai di
Naisabur, para penduduk menyambutnya dengan penyambutan yang demikian besar dan
agung. Beribu-ribu orang berkerumun di tempat tinggal beliau setiap harinya
untuk menanyakan kepada beliau berbagai masalah agama dan khususnya berbagai
kepelikan tentang hadits. Akibatnya berbagai majlis ilmu para ulama yang
lainnya menjadi sepi pengunjung. Dari sebab ini mungkin timbul ketidakenakan di
hati sebagian ulama itu terhadap Al-Bukhari.
Di hari ketiga kunjungan beliau ke Naisabur, terjadilah
peristiwa yang amat disesalkan itu. Diceritakan oleh Ahmad bin Adi peristiwa
itu terjadi sebagai berikut:
Telah menceritakan kepadaku sekelompok ulama bahwa ketika
Muhammad bin Ismail sampai ke negeri Naisabur dan orang-orang pun berkumpul
mengerumuninya, maka timbullah kedengkian padanya dari sebagian ulama yang ada
pada waktu itu. Sehingga mulailah diberitakan kepada para ulama Ahli hadits
bahwa Muhammad bin Ismail berpendapat bahwa lafadh beliau ketika membaca
Al-Qur’an adalah makhluk. Pada suatu majlis ilmu, ada seseorang berdiri dan
bertanya kepada beliau: “Wahai Abu Abdillah (yakni Al-Bukhari), apa pendapatmu
tentang orang yang menyatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah
makhluk? Apakah memang demikian atau lafadh orang yang membaca Al-Qur’an itu
bukan makhluk?”
Mendengar pertanyaan itu, beliau berpaling karena tidak mau
menjawabnya. Akan tetapi si penanya mengulang-ulang terus pertanyaannya hingga
sampai ketiga kalinya seraya memohon dengan sangat agar beliau menjawabnya.
Al-Bukhari pun akhirnya menjawab dengan mengatakan: “Al-Qur’an kalamullah
(perkataan Allah) dan bukan makhluk. Sedangkan perbuatan hamba Allah adalah
makhluk, dan menguji orang dalam masalah ini adalah perbuatan bid’ah.”
Dengan jawaban beliau ini, si penanya membikin ricuh di majlis
dan mengatakan tentang Al-Bukhari: “Dia telah menyatakan bahwa lafadhku ketika
membaca Al-Qur’an adalah makhluk.” Akibatnya orang-orang di majlis itu menjadi
ricuh dan mereka pun segera membubarkan diri dari majlis itu dan meninggalkan
beliau sendirian. Sejak itu Al-Bukhari duduk di tempat tinggalnya dan
orang-orang pun tidak lagi mau datang kepada beliau.”
Al-Khatib Al-Baghdadi meriwayatkan dari Ahmad bin Muhammad
bin Ghalib dengan sanadnya dari Muhammad bin Khasynam menceritakan: “Setelah
orang meninggalkan Al-Bukhari, orang-orang yang meninggalkan beliau itu sempat
datang kepada beliau dan mengatakan: “Engkau mencabut pernyataanmu agar kami
kembali belajar di majelismu.” Beliau menjawab: “saya tidak akan mencabut
pernyataan saya kecuali bila mereka yang meninggalkanku menunjukkan hujjah
(argumentasi) yang lebih kuat dari hujjahku.”
Kata Muhammad bin Khasynam: “Sungguh aku amat kagum dengan
tegarnya dan kokohnya Al-Bukhari dalam berpegang dengan pendirian.”
Kaum Muslimin di Naisabur gempar dengan kejadian ini dan
akhirnya arus fitnah melibatkan pula Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli
sehingga beliau menyatakan di majlis ilmu beliau yang kini telah ramai kembali
setelah orang meninggalkan majlis Al-Bukhari: “Ketahuilah, sesungguhnya siapa
saja yang masih mendatangi majlis Al-Bukhari, dilarang datang ke majlis kita
ini. Karena orang-orang di Baghdad telah memberitakan melalui surat kepada kami
bahwa orang ini (yakni Al-Bukhari) mengatakan bahwa lafadhku ketika membaca
Al-Qur’an adalah makhluk. Kata mereka yang ada di Baghdad bahwa Al-Bukhari
telah dinasehati untuk jangan berkata demikian, tetapi dia terus mengatakan
demikian. Oleh karena itu, jangan ada yang mendekatinya dan barangsiapa
mendekatinya maka janganlah mendekati kami.”
Tentu saja dengan telah terlibatnya Imam Adz-Dzuhli, fitnah
semakin meluas. Hal ini terjadi karena Adz-Dzuhli adalah imam yang sangat
berpengaruh di seluruh wilayah Khurasan yang beribukota di Naisabur itu. Bahkan
lebih lanjut Al-Imam Adz-Dzuhli menegaskan: “Al-Qur’an adalah kalamullah (yakni
firman Allah) dan bukan makhluk dari segala sisinya dan dari segala keadaan.
Maka barangsiapa yang berpegang dengan prinsip ini, sungguh dia tidak ada
keperluan lagi untuk berbicara tentang lafadhnya ketika membaca Al-Qur’an atau
omongan yang serupa ini tentang Al-Qur’an. Barangsiapa yang menyatakan bahwa
Al-Qur’an itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir dan keluar dari iman, dan
harus dipisahkan dari istrinya serta dituntut untuk taubat dari ucapan yang
demikian. Bila dia mau taubat maka diterima taubatnya. Tetapi bila tidak mau
taubat, harus dipenggal lehernya dan hartanya menjadi rampasan Muslimin serta
tidak boleh dikubur di pekuburan kaum Muslimin. Dan barangsiapa yang bersikap
abstain dengan tidak menyatakan Al-Qur’an sebagai makhluk dan tidak pula
menyatakan Al-Qur’an bukan makhluk, maka sungguh dia telah menyerupai
orang-orang kafir. Barangsiapa yang menyatakan “lafadhku ketika membaca
Al-Qur’an adalah makhluk”, maka sungguh dia adalah Ahli Bid’ah (yakni orang
yang sesat). Tidak boleh duduk bercengkrama dengannya dan tidak boleh diajak
bicara. Oleh karena itu, barangsiapa setelah penjelasan ini masih saja
mendatangi tempatnya Al-Bukhari, maka curigailah ia karena tidaklah ada orang
yang tetap duduk di majelisnya kecuali dia semadzhab dengannya dalam
kesesatannya.”
Dengan pernyataan Adz-Dzuhli seperti ini, berdirilah dari majlis
itu Imam Muslim bin Hajjaj dan Ahmad bin Salamah. Bahkan Imam Muslim
mengirimkan kembali kepada Adz-Dzuhli seluruh catatan riwayat hadits yang
didapatkannya dari Imam Adz-Dzuhli, sehingga dalam Shahih Muslim tidak ada
riwayat Adz-Dzuhli dari berbagai sanad yang ada padanya.
Sikap Imam Muslim bin Hajjaj dan Ahmad bin Salamah yang
seperti itu menyebabkan Adz-Dzuhli semakin marah sehingga beliau pun
menyatakan: “Orang ini (yakni Al-Bukhari) tidak boleh bertempat tinggal di
negeri ini bersama aku.”
Kemarahan Adz-Dzuhli seperti ini sangat menggusarkan Ahmad
bin Salamah, salah seorang pembela Al-Bukhari. Dia segera mendatangi Al-Bukhari
seraya mengatakan: “Wahai Abu Abdillah (yakni Al-Bukhari), orang ini (yakni
Adz-Dzuhli) sangat berpengaruh di Khurasan, khususnya di kota ini (yakni kota
Naisabur). Dia telah terlalu jauh dalam berbicara tentang perkara ini sehingga
tak seorang pun dari kami bisa menasehatinya dalam perkara ini. Maka bagaimana
pendapatmu?”
Al-Imam Al-Bukhari amat paham kegusaran muridnya ini
sehingga dengan penuh kasih sayang beliau memegang jenggot Ahmad bin Salamah
dan membaca surat Ghafir 44 yang artinya: “Dan aku serahkan urusanku kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” Kemudian beliau
menunduk sambil berkata: “YA Allah, sungguh Engkau tahu bahwa aku tinggal di
Naisabur tidaklah bertujuan jahat dan tidak pula bertujuan dengan kejelekan.
Engkau juga mengetahui ya Allah, bahwa aku tidak mempunyai ambisi untuk
memimpin. Hanyasaja karena aku terpaksa pulang ke negeriku karena para
penentangku telah menguasai keadaan. Dan sungguh orang ini (yakni Adz-Dzuhli)
membidikku semata-mata karena hasad (dengki) terhadap apa yang Allah telah
berikan kepadaku daripada ilmu.” Wajah beliau sendu menyimpan kekecewaan yang
mendalam. Dan dia menatap Ahmad bin Salamah dengan mantap sambil berkata:
“wahai Ahmad, aku akan meninggalkan Naisabur besok agar kalian terlepas dari
berbagai problem akibat omongannya (yakni omongan Adz-Dzuhli) karena sebab
keberadaanku.” Segera setelah itu Al-Bukhari berkemas-kemas untuk mempersiapkan
keberangkatannya besok kembali ke negeri Bukhara.
Rencana Al-Bukhari untuk pulang ke negeri Bukhara sempat
diberitakan oleh Ahmad bin Salamah kepada segenap kaum Muslimin di Naisabur,
tetapi mereka tidak ada yang berselera untuk melepasnya di batas kota. Sehingga
Al-Imam Al-Bukhari dilepas kepulangannya oleh Ahmad bin Salamah saja dan beliau
berjalan sendirian menempuh jalan darat yang jauh menuju negerinya yaitu
Bukhara. “Selamat tinggal Naisabur, rasanya tidak mungkin lagi aku berjumpa
denganmu.”
Badai Di Negeri Bukhara
Di negeri Bukhara telah tersebar berita bahwa Imam Muhammad
bin Ismail Al-Bukhari sedang menuju Bukhara. Penduduk Bukhara melakukan
berbagai persiapan untuk menyambutnya di pintu kota. Bahkan diceritakan oleh
Ahmad bin Mansur Asy-Syirazi bahwa dia mendengar dari berbagai orang yang
menyaksikan peristiwa penyambutan Al-Bukhari di negeri Bukhara, dikatakan bahwa
masyarakat membangun gapura penyambutan di tempat yang berjarak satu farsakh
(kurang lebih 5 km) sebelum masuk kota Bukhara. Dan ketika Al-Imam Muhammad bin
Ismail Al-Bukhari telah sampai di gapura “selamat datang” tersebut, beliau
mendapati hampir seluruh penduduk negeri Bukhara menyambutnya dengan penuh suka
cita, sampai-sampai disebutkan bahwa penduduk melemparkan kepingan emas dan
perak di jalan yang akan diinjak oleh telapak kaki Al-Bukhari. Mereka berdiri
di kedua sisi jalan masuk kota Bukhara sambil berebut memberikan buah anggur
yang istimewa kepada sang Imam Ahlul Hadits yang amat mereka cintai itu.
Tetapi suka cita penduduk negeri Bukhara ini tidak
berlangsung lama. Beberapa hari setelah itu para ahli fikih mulai resah dengan
beberapa perubahan pada cara beribadah orang-orang Bukhara. Yang berlaku di
negeri tersebut adalah madzhab Hanafi, sedangkan Al-Bukhari mengajarkan hadits
sesuai dengan pengertian Ahli Hadits yang tidak terikat dengan madzhab tertentu
sehingga yang nampak pada masyarakat ialah sikap-sikap yang diajarkan oleh Ahli
Hadits, dan bukan pengamalan madzhab Hanafi. Orang dalam beriqamat untuk shalat
jamaah tidak lagi menggenapkan bacaan qamat seperti adzan, tetapi membaca qamat
dengan satu-satu sebagaimana yang ada dalam hadits-hadits shahih. Ketika
bertakbir dalam shalat semula tidak mengangkat tangan sebagaimana madzhab
Hanafi, sekarang mereka bertakbir dengan mengangkat tangan.
Dengan berbagai perubahan ini keresahan para ulama fiqih
tambah menjadi-jadi sehingga tokoh ulama fiqih di negeri tersebut yang bernama
Huraits bin Abi Wuraiqa’ menyatakan tentang Al-Imam Al-Bukhari: “Orang ini
pengacau. Dia akan merusakkan kehidupan keagamaan di kota ini. Muhammad bin
yahya telah mengusir dia dari Naisabur, padahal dia imam Ahli Hadits.”
Maka Huraits dan kawan-kawannya mulai berusaha untuk
mempengaruhi gubernur Bukhara agar mengusir Al-Imam Muhammad bin Ismail
Al-Bukhari ini. Gubernur negeri ini yang bernama Khalid bin Ahmad As-Sadusi
Adz-Dzuhli.
Gubernur Khalid pernah meminta Al-Bukhari untuk datang ke
istananya guna mengajarkan kitab At-Tarikh dan Shahih Al-Bukhari bagi
anak-anaknya. Tetapi Al-Imam Al-Bukhari menolak permintaan gubernur tersebut
dengan mengatakan: “Aku tidak akan menghinakan ilmu ini dan aku tidak akan
membawa ilmu ini dari pintu ke pintu. Oleh karena itu bila anda memerlukan ilmu
ini, maka hendaknya anda datang saja ke masjidku, atau ke rumahku. Bila sikapku
yang demikian ini tidak menyenangkanmu, engkau adalah penguasa. Silakan engkau
melarang aku untuk membuka majlis ilmu ini agar aku punya alasan di sisi Allah
di hari kiamat bahwa aku tidaklah menyembunyikan ilmu (tetapi dilarang oleh
penguasa untuk menyampaikannya).” Tentu gubernur Khalid dengan jawaban ini
sangat kecewa. Maka berkumpullah padanya penghasutan Huraits bin Abil Wuraqa’
dan kawan-kawan serta kekecewaan pribadi gubernur ini. Huraits dan gubernur
Khalid akhirnya sepakat untuk membikin rencana mengusir Muhammad bin Ismail
dari Bukhara. Lebih-lebih lagi telah datang surat dari Al-Imam Muhammad bin
Yahya Adz-Dzuhli dari Naisabur kepada gubernur Khalid bin Ahmad As-Sadusi
Adz-Dzuhli di Bukhara yang memberitakan bahwa Al-Bukhari telah menampakkan
sikap menyelisihi sunnah Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Dengan demikian
matanglah rencana pengusiran Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dari negeri
Bukhara.
Upaya pengusiran itu bermula dengan dibacakannya surat
Muhammad bin yahya Adz-Dzuhli di hadapan segenap penduduk Bukhara tentang
tuduhan beliau kepada Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari bahwa beliau telah
berbuat bid’ah dengan mengatakan bahwa “lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah
makhluk”. Tetapi dengan pembacaan surat, penduduk Bukhara pada umumnya tidak
mau peduli dengan tuduhan tersebut dan terus memuliakan Al-Imam Al-Bukhari.
Namun gubernur Khalid akhirnya mengusirnya dengan paksa sehingga Al-Imam
Al-Bukhari sangat kecewa dengan perlakuan ini. Dan sebelum keluar dari negeri
Bukhara, beliau sempat mendoakan celaka atas orang-orang yang terlibat langsung
dengan pengusirannya. Ibrahim bin Ma’qil An-Nasafi menceritakan: “Aku melihat
Muhammad bin Ismail pada hari beliau diusir dari negeri Bukhara, aku mendekat
kepadanya dan aku bertanya kepadanya: “Wahai Abu Abdillah, apa perasaanmu
dengan pengusiran ini?” Beliau menjawab: “Aku tidak peduli selama agamaku
selamat.”
Al-Bukhari meninggalkan Bukhara dengan penuh kekecewaan dan
dilepas penduduk Bukhara dengan penuh kepiluan. Beliau berjalan menuju desa
Bikanda kemudian berjalan lagi ke desa Khartanka, yang keduanya adalah
desa-desa negeri Samarkan. Di desa terakhir inilah beliau jatuh sakit dan
dirawat di rumah salah seorang kerabatnya penduduk desa tersebut.
Dalam suasana hati yang terluka, tubuhnya yang kurus kering
di usia ke enampuluh dua tahun, beliau berdoa mengadukan segala kepedihannya
kepada Allah Ta`ala: “Ya Allah, bumi serasa sempit bagiku. Tolonglah ya Allah,
Engkau panggil aku keharibaan-Mu.” Dan sesaat setelah itu ia pun menghembuskan
nafas terakhir dan selamat tinggal dunia yang penuh onak dan duri.
Pembelaan Al-Bukhari
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari
mengakhiri hidupnya di desa Khartanka, Samarkan pada malam Sabtu di malam hari
Raya Fitri (Iedul Fitri) 1 Syawsal 256 H. sebelum menghembuskan nafas yang
terakhir, beliau sempat berwasiat agar mayatnya nanti dikafani dengan tiga
lapis kain kafan tanpa imamah (ikat kepala) dan tanpa baju. Dan beliau berwasiat
agar kain kafannya berwarna putih. Semua wasiat beliau itu dilaksanakan dengan
baik oleh kerabat beliau yang merawat jenasahnya. Beliau dikuburkan di desa itu
di hari Iedul Fitri 1 Syawal 256 H setelah shalat Dhuhur. Dan seketika selesai
pemakamannya, tersebarlah bau harum dari kuburnya dan terus semerbak bau harum
itu sampai berhari-hari.
Gubernur Bukhara Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhli menuai hasil dari kedhalimannya dengan datangnya keputusan pencopotan terhadap jabatannya dari Khalifah Al-Muktamad karena tuduhan ikut terlibat pemberontakan Ya’qub bin Al-Laits terhadap Khilafah Ath-Thahir. Khalid bin Ahmad akhirnya dipenjarakan di Baghdad sampai mati di penjara pada tahun 269 H. Sedangkan Huraits bin Abil Waraqa’ ditimpa kehancuran pada anak-anaknya yang berbuat tidak senonoh. Para penentang Imam Bukhari menyatakan penyesalannya dan kesedihannya dengan wafatnya beliau dan sebagian mereka sempat mendatangi kuburnya.
Mulailah setelah itu orang berani menyebarkan pembelaan Al-Imam Al-Bukhari dari segala tuduhan miring terhadap dirinya. Tetapi berbagai pembelaan itu selama ini tenggelam dalam hiruk pikuk fitnah tuduhan keji terhadap diri beliau. Dan Allah Maha Adil terhadap hamba-hamba-Nya.
Muhammad bin Nasir Al-Marwazi mempersaksikan bahwa Al-Imam
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari menyatakan: “Barangsiapa yang mengatakan bahwa aku telah berpendapat bahwa lafadhku
ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk, maka sungguh dia adalah pendusta,
karena sesungguhnya aku tidak pernah mengatakan demikian.”
Abu Amr Ahmad bin Nasir An-Naisaburi Al-Khaffaf
mempersaksikan bahwa Al-Imam Al-Bukhari telah mengatakan kepadanya: “Wahai Abu Amir, hafal baik-baik apa yang
aku ucapkan: Siapa yang menyangka bahwa aku berpendapat bahwa lafadhku tentang
Al-Qur’an adalah makhluk, baik dia dari penduduk Naisabur, Qaumis, Ar-Roy,
Hamadzan, Hulwan, Baghdad, Kuffah, Basrah, Makkah, atau Madinah, maka
ketahuilah bahwa yang menyangka aku demikian itu adalah pendusta. Karena
sesungguhnya aku tidaklah mengatakan demikian. Hanya saja aku mengatakan:
Segenap perbuatan hamba Allah itu adalah makhluk.”
Yahya bin Said mengatakan: “Abu Abdillah Al-Bukhari telah berkata: Gerak-gerik hamba Allah, suara mereka, tingkah laku mereka, segala tulisan mereka adalah makhluk. Adapun Al-Qur’an yang dibaca dengan suara huruf-huruf tertentu, yang ditulis di lembaran-lembaran penulisan Al-Qur’an, yang dihafal di hati para penghafalnya, maka semua itu adlaah kalamullah (perkataan Allah) dan bukan makhluk.”
Ghunjar membawakan riwayat dengan sanadnya sampai ke
Al-Firabri, dia mengatakan bahwa Al-Bukhari telah mengatakan: “Al-Qur’an
kalamullah dan bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu
makhluk maka sungguh dia telah kafir.” Bahkan Al-Imam Al-Bukhari menulis kitab
khusus dalam masalah ini dengan judul Khalqu Af`alil Ibad yang padanya beliau
menjelaskan pendirian beliau dalam masalah ini dengan gamblang dan jelas serta
lengkap dan ilmiah.
Fitnah itu memang kejam, lebih kejam dari pembunuhan. Dia
tidak akan memilih antara orang jahil atau orang alim dari kalangan ulama. Dan
ulama pun bisa salah dalam memberikan penilaian, karena yang ma’shum (terjaga
dari kesalahan) hanyalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Orang-orang
yang menyakini bahwa ulama itu ma’shum hanyalah para ahli bid’ah dari kalangan
Rafidlah (Syiah) atau orang-orang sufi. Demikian pula orang-orang yang mencerca
ulama karena kesalahannya semata tanpa mempertimbangkan apakah kesalahan itu
karena kesalahan ijtihad ataukah kesalahan prinsip yang tak termaafkan, yang demikian
ini adalah sikap sufaha’ (orang-orang dungu) semacm sururiyyun (pengikut
Muhammad bin Surur) atau haddadiyyun (pengikut Mahmud Al-Haddad). Ahlus Sunnah
wal Jamaah tidak menganggap para ulama itu ma’shum dan tidak pula melecehkan
ulama ketika mendapati kesalahan mereka. Dengan prinsip inilah kita tetap
memuliakan Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Dan juga kita memuliakan
Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli. Kita mendoakan rahmat Allah bagi para
imam-imam tersebut. Dan kita memahami segala perselisihan di kalangan mereka
dengan ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk mengerti mana yang benar untuk kita
ikuti dan mana yang salah untuk kita tinggalkan.
Ahlus Sunnah wal Jamaah itu berkata dan berbuat dengan
bersandarkan kepada ilmu. Adalah bukan akhlak Ahlus Sunnah wal Jamaah bila
segerombolan orang berbuat hura-hura dan kemudian menvonis seseorang atau
sekelompok orang. Tertapi ketika ditanyai, apa dasar kamu berbuat demikian?
Jawabannya: Kami masih menunggu fatwa dari ulama!
Kita katakan kepada mereka ini: “Apalagi yang kalian tunggu
dari ulama setelah kalian berbuat, menvonis dan menilai? Apakah kalian berbuat
dulu baru mencari pembenaran terhadap perbuatan kalian dengan fatwa ulama?
Kalau begitu yang kalian tunggu adalah fatwa pembenaran dari ulama terhadap
perbuatan kalian. tentu yang demikian ini bukanlah akhlak Ahlus Sunnah wal
Jamaah.
Gubernur Bukhara Khalid bin Ahmad As-Sadusi dan mufti
negeri Bukhara Huraits bin Abil Waraqa’ telah menyimpan ketidaksenangan kepada
Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dan berencana untuk mengusirnya dari
negeri Bukhara. Ketika sedang mencari-cari alasan pembenaran terhadap
perbuatannya tiba-tiba datang surat dari Al-Imam Muhammad bin yahya Adz-Dzuhli
dari Naisabur yang memperingatkan sang gubernur dari bahaya bid’ah yang dibawa
oleh Al-Imam Al-Bukhari. Surat ini seperti kata pepatah: pucuk dicita ulam
tiba. Tanpa selidik dan tanpa teliti, segera surat ini dibacakan di hadapan
penduduk Bukhara dan setelah itu datanglah keputusan pengusiran Al-Bukhari dari
negeri kelahirannya, sehingga yang diharapkan, kesan orang bahwa pengusiran itu
karena semata-mata alasan agama dan bukan alasan yang lainnya.
Tetapi Allah Maha Tahu dan Dia membongkar segala kejahatan
di balik alasan-alasan yang memakai atribut agama itu. Sehingga yang tertulis
dalam sejarah Islam sampai hari ini adalah kesan buruk terhadap perbuatan
Khalid bin Ahmad As-Sadusi dan Huraits bin Abil Waraqa’. Dan bukan kesan buruk
yang dibikin-bikin oleh para pencoleng fatwa ulama itu. Camkanlah!
Pengkhianatan dan kedustaan itu berulang-ulang terus dari masa ke masa. Hanya
saja pemainnya yang berganti-ganti. Tetapi semua itu akan menjadi sejarah bagi
anak cucu di belakang hari sebagaimana sejarah pengkhianatan dan kedustaan
terhadap Al-Imam Al-Bukhari yang sekarang menjadi pergunjingan bagi generasi
ini.
IMAM MUSLIM (206-261 H)
Nama lengkapnya ialah Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj
bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an-Naisaburi. Ia juga mengarang kitab
As-Sahih (terkenal dengan Sahih Muslim). Ia salah seorang ulama terkemuka yang
namanya tetap dikenal hingga kini. Ia dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H.
menurut pendapat yang sahih sebagaimana dikemukakan oleh al-Hakim Abu Abdullah
dalam kitabnya ‘Ulama’ul Amsar.*
Kehidupan
untuk Mencari Ilmu
Ia belajar hadits sejak masih dalam usia dini, yaitu mulaii
tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara negara lainnya.
Dalam perjalannanya Imam Muslim banyak mengunjungi
ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, ia
berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada
Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak ia belajar hadits kepada Ahmad bin
Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa’id bin Mansur dan
Abu Mas’Abuzar; di Mesir berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya,
dan kepada ulama ahli hadits yang lain.
Muslim berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar
kepada ulama-ulama ahli hadits, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H. di
waktu Imam Bukhari datang ke Naisabur, Muslim sering datang kepadanya untuk
berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau
kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung kepada Bukhari, sehingga
hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam
Sahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadits-hadits yang
diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap
Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadits dalam Sahihnya, yang diterimanya dari
Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim, yang lebih
baik adalah tidak memasukkan ke dalam Sahihnya hadits-hadits yang diterima dari
kedua gurunya itu, dengan tetap mengakui mereka sebagai guru.
Guru-gurunya
Selain yang telah disebutkan di atas, Muslim masih
mempunyai banyak ulama yang menjadi gurunya. Di antaranya : Usman dan Abu
Bakar, keduanya putra Abu Syaibah; Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil al-Juri,
Zuhair bin Harb, Amr an-Naqid, Muhammad bin al-Musanna, Muhammad bin Yassar,
Harun bin Sa’id al-Ayli, Qutaibah bin Sa’id dan lain sebagainya.
Keahlian dalam Hadits
Apabila Imam Bukhari merupakan ulama terkemuka di bidang
hadits sahih, berpengetahuan luas mengenai ilat-ilat dan seluk beluk hadits,
serta tajam kritiknya, maka Imam Muslim adalah orang kedua setelah Imam
Bukhari, baik dalam ilmu dan pengetahuannya maupun dalam keutamaan dan
kedudukannya.
Imam Muslim banyak menerima pujian dan pengakuan dari para
ulama ahli hadits maupun ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi berketa, “Muslim
telah mengikuti jejak Bukhari, memperhatikan ilmunya dan menempuh jalan yang
dilaluinya.” Pernyataan ini tidak berarti bahwa Muslim hanyalah seorang
pengekor. Sebab, ia mempunyai cirri khas dan karakteristik tersendiri dalam
menyusun kitab, serta metode baru yang belum pernah diperkenalkan orang
sebelumnya.
Abu Quraisy al-Hafiz menyatakan bahwa di dunia ini orang
yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di
antaranya adalah Muslim (Tazkiratul Huffaz, jilid 2, hal. 150). Maksud
perkataan tersebut adalah ahli ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu
Quraisy, sebab ahli hadits itu cukup banyak jumlahnya.
Karya-karya Imam Muslim
Imam
Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya :
1. Al-Jami’ as-Sahih (Sahih Muslim).
2. Al-Musnadul Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadits).
3. Kitabul-Asma’ wal-Kuna.
4. Kitab al-’Ilal.
5. Kitabul-Aqran.
6. Kitabu Su’alatihi Ahmad bin Hambal.
7. Kitabul-Intifa’ bi Uhubis-Siba’.
8. Kitabul-Muhadramin.
9. Kitabu man Laisa lahu illa Rawin Wahid.
10. Kitab Auladis-Sahabah.
11. Kitab Awhamil-Muhadditsin.
1. Al-Jami’ as-Sahih (Sahih Muslim).
2. Al-Musnadul Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadits).
3. Kitabul-Asma’ wal-Kuna.
4. Kitab al-’Ilal.
5. Kitabul-Aqran.
6. Kitabu Su’alatihi Ahmad bin Hambal.
7. Kitabul-Intifa’ bi Uhubis-Siba’.
8. Kitabul-Muhadramin.
9. Kitabu man Laisa lahu illa Rawin Wahid.
10. Kitab Auladis-Sahabah.
11. Kitab Awhamil-Muhadditsin.
Kitab Sahih Muslim
Di antara kitab-kitab di atas yang paling agung dan sangat
bermanfat luas, serta masih tetap beredar hingga kini ialah Al Jami’ as-Sahih,
terkenal dengan Sahih Muslim. Kitab ini merupakan salah satu dari dua kitab
yang paling sahih dan murni sesudah Kitabullah. Kedua kitab Sahih ini diterima
baik oleh segenap umat Islam.
Imam Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk
meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring hadits-hadits yang
diriwayatkan, membandingkan riwayat riwayat itu satu sama lain. Muslim sangat
teliti dan hati-hati dalam menggunakan lafaz-lafaz, dan selalu memberikan
isyarat akan adanya perbedaan antara lafaz-lafaz itu. Dengan usaha yang
sedeemikian rupa, maka lahirlah kitab Sahihnya.
Bukti kongkrit mengenai keagungan kitab itu ialah suatu
kenyataan, di mana Muslim menyaring isi kitabnya dari ribuan riwayat yang
pernah didengarnya. Diceritakan, bahwa ia pernah berkata: “Aku susun kitab
Sahih ini yang disaring dari 300.000 hadits.”
Diriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, yang berkata : “Aku
menulis bersama Muslim untuk menyusun kitab Sahihnya itu selama 15 tahun. Kitab
itu berisi 12.000 buah hadits.”
Dalam pada itu, Ibn Salah menyebutkan dari Abi Quraisy
al-Hafiz, bahwa jumlah hadits Sahih Muslim itu sebanyak 4.000 buah hadits.
Kedua pendapat tersebut dapat kita kompromikan, yaitu bahwa perhitungan pertama
memasukkan hadits-hadits yang berulang-ulang penyebutannya, sedangkan
perhitungan kedua hanya menghitung hadits-hadits yang tidak disebutkan
berulang.
Imam Muslim berkata di dalam Sahihnya: “Tidak setiap
hadits yang sahih menurutku, aku cantumkan di sini, yakni dalam Sahihnya. Aku
hanya mencantumkan hadits-hadits yang telah disepakati oleh para ulama hadits.”
.
Imam Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan gembira atas
karunia Tuhan yang diterimanya: “Apabila penduduk bumi ini menulis hadits
selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab
musnad ini.”
Ketelitian dan kehati-hatian Muslim terhadap hadits yang
diriwayatkan dalam Sahihnya dapat dilihat dari perkataannya sebagai berikut : “Tidaklah
aku mencantumkan sesuatu hadits dalam kitabku ini, melainkan dengan alasan;
juga tiada aku menggugurkan sesuatu hadits daripadanya melainkan dengan alasan
pula.”
Imam Muslim di dalam penulisan Sahihnya tidak membuat judul
setiap bab secara terperinci. Adapun judul-judul kitab dan bab yang kita dapati
pada sebagian naskah Sahih Muslim yang sudah dicetak, sebenarnya dibuat oleh
para pengulas yang datang kemudian. Di antara pengulas yang paling baik
membuatkan judul-judul bab dan sistematika babnya adalah Imam Nawawi dalam
Syarahnya.
Imam Muslim wafat pada ahad sore, dan dikebumikan di
kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25
Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun.
Nama sebenarnya Abu
Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qazwini dari desa Qazwin,
Iran. Lahir tahun 209 dan wafat tahun 273. Beliau adalah muhaddits ulung,
mufassir dan seorang alim. Beliau memiliki beberapa karya diantaranya
adalah Kitabus Sunan, Tafsir dan Tarikh Ibnu Majah.
Ia melakukan perjalanan
ke berbagai kota untuk menulis hadits, anatara lain Ray, Basrah, Kufah,
Baghdad, Syam, Mesir dan Hijaz.
Ia menerima hadit dari
guru gurunya antara lain Ibn Syaibah, Sahabatnya Malik dan al-Laits. Abu Ya’la
berkata,” Ibnu Majah seorang ahli ilmu hadits dan mempunyai banyak
kitab”.
Beliau menyusun kitabnya
dengan sistematika fikih, yang tersusun atas 32 kitab dan 1500 bab dan jumlah
haditsnya sekitar 4.000 hadits. Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi
menghitung ada sebanyak 4241 hadits di dalamnya. Sunan Ibnu
Majah ini berisikan hadits yang shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu’. Imam Abul
Faraj Ibnul Jauzi mengkritik ada hampir 30 hadits maudhu di dalam Sunan Ibnu
Majah walaupun disanggah oleh as-Suyuthi.
Ibnu Katsir
berkata,” Ibnu Majah pengarang kitab Sunan, susunannya itu menunjukan
keluasan ilmunya dalam bidang Usul dan furu’, kitabnya mengandung 30 Kitab; 150
bab, 4.000 hadits, semuanya baik kecuali sedikit saja”.
Al-Imam al-Bushiri (w.
840) menulis ziadah (tambahan) hadits di dalam Sunan Abu Dawud
yang tidak terdapat di dalam kitabul khomsah (Shahih Bukhari,
Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Nasa’i dan Sunan Tirmidzi) sebanyak 1552
hadits di dalam kitabnya Misbah az-Zujajah fi Zawaid Ibni Majah serta
menunjukkan derajat shahih, hasan, dhaif maupun maudhu’. Oleh karena itu,
penelitian terhadap hadits-hadits di dalamnya amatlah urgen dan penting.
Ia wafat pada tahun 273
H
Nama lengkapnya adalah
Ahmad bin Idris bin Mundzir bin Daud bin Mihran Abu Hatim al-Hardhaly, Ia
seorang imam hafidh yang kepercayaan serta mengetahui illat illat hadits jarah
dan ta’dil.
Ia adalah teman Abu
Zur’ah, beliau banyak mendengarkan hadits dan melawat ke berbagai kota. Ia
meriwayatkan hadits dari ulama ulama besar. Ia pernah berkata kepada anaknya
Abdurahman :” Hai anakku, aku telah pernah berjalan kaki lebih dari
1.000 farsakh untuk mencari hadits.”.
Sering ia bercerita
dalam majlis kepda para hafidh, ‘barang siapa yang dapat memberikan kepada
saya satu hadits yang belum pernah saya ketahui, maka saya sedekahkan satu
dirham’. Maka tidak seorangpun yang dapat mengemukakan kepadanya suatu
hadits yang belum dihapal oleh beliau. Padahal yang hadir terdapat Abu Zur’ah.
Ulama hadist mengakui
ketinggian ilmu beliau dalam ilmu hadits beserta illat illatnya. Al Hakim
menggolongkan dia kedalam golongan fuqaha hadits. Ia wafat pada tahun 277 H
Nama sebenarnya adalah
Abdulah bi Abdul Karim, seorang hafidh besar yang terkenal, teman temannya mengakui
kelebihannya dalam ilmu hadits, Abu Zur’ah seorang penghapal hadits dan seorang
yang mendhabitkannya.
Diriwayatkan oleh
al-Hakim dalam kitabnya Ma’rifatu Ulumil Hadits, bahwa diwaktu Qutaibah bin
Sa’ad pergi ke Rai, penduduknya memintakepadanya.agar mengeluarkan hadits,
Maka Qutaibah menolak dan berkata,”Apakah yang aku riwayatkan kepada kamu
sesudah majlisku dihadiri Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’in, Ali ibn Mahdy, Abu
Bakar ibn Abi Syainah dan Abu Khuzaimah?”.
Mereka berkata kepadanya
: disini ada seorang pemuda yang dapat menyebutkan segala apa yang telah anda
riwayatkan dari majlis ke majlis, maka Abu Zur’ah pun menyebut hadits satu per
satu. Al-Hakim menggolongkan beliau ini ke dalam golongan fuqaha hadits. Ia
wafat pada tahun 264 H.
IMAM ABU DAWUD
Beliau lahir sebagai seorang ahli urusan hadits, juga dalam
masalah fiqh dan ushul serta masyhur akan kewara’annya dan kezuhudannya.
Kefaqihan beliau terlihat ketika mengkritik sejumlah hadits yang bertalian
dengan hukum, selain itu terlihat dalam penjelasan bab-bab fiqih atas sejumlah
karyanya, seperti Sunan Abu Dawud.
Al-Imam al-Muhaddist Abu Dawud lahir pada tahun 202 H dan wafat pada tahun 275 H di
Bashrah. Sepanjang sejarah telah muncul para pakar hadist yang berusaha
menggali makna hadist dalam berbagai sudut pandang dengan metoda pendekatan dan
sistem yang berbeda, sehingga dengan upaya yang sangat berharga itu mereka
telah membuka jalan bagi generasi selanjutnya guna memahami as-Sunnah dengan
baik dan benar.
Di samping itu, mereka pun telah bersusah payah menghimpun
hadits-hadits yang dipersilisihkan dan menyelaraskan di antara hadits yang
tampak saling menyelisihi. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga kewibawaan dari
hadits dan sunnah secara umum. Abu Muhammad bin Qutaibah (wafat 267 H) dengan
kitab beliau Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits telah membatah habis pandangan kaum
Mu’tazilah yang mempertentangkan beberapa hadits dengan al-Quran maupun dengan
rasio mereka.
Selanjutnya upaya untuk memilahkan hadits dari
khabar-khabar lainnya yang merupakan hadits palsu maupun yang lemah terus
dilanjutkan sampai dengan kurun al-Imam Bukhari dan beberapa penyusun sunan dan
lainnya. Salah satu kitab yang terkenal adalah yang disusun oleh Imam Abu Dawud
yaitu sunan Abu Dawud. Kitab ini memuat 4800 hadits terseleksi dari 50.000
hadits.
Beliau sudah berkecimpung dalam bidang hadits sejak berusia
belasan tahun. Hal ini diketahui mengingat pada tahun 221 H, beliau sudah
berada di baghdad. Kemudian mengunjungi berbagai negeri untuk memetik langsung
ilmu dari sumbernya. Beliau langsung berguru selama bertahun-tahun. Diantara
guru-gurunya adalah Imam Ahmad bin Hambal, al-Qa’nabi, Abu Amr adh-Dhariri, Abu
Walid ath-Thayalisi, Sulaiman bin Harb, Abu Zakariya Yahya bin Ma’in, Abu
Khaitsamah, Zuhair bin Harb, ad-Darimi, Abu Ustman Sa’id bin Manshur, Ibnu Abi
Syaibah dan lain-lain.
Sebagai ahli hukum, Abu Dawud pernah berkata: Cukuplah
manusia dengan empat hadist, yaitu: Sesungguhnya segala perbuatan itu
tergantung niatnya; termasuk kebagusan Islam seseorang adalah meninggalkan apa
yang tidak bermanfaat; tidaklah keadaan seorang mukmin itu menjadi mukmin,
hingga ia ridho terhadap saudaranya apa yang ia ridho terhadap dirinya sendiri;
yang halal sudah jelas dan yang harampun sudah jelas pula, sedangkan diantara
keduanya adalah syubhat.
Beliau menciptakan karya-karya yang bermutu, baik dalam
bidang fiqh, ushul,tauhid dan terutama hadits. Kitab sunan beliaulah yang
paling banyak menarik perhatian, dan merupakan salah satu diantara kompilasi
hadits hukum yang paling menonjol saat ini. Tentang kualitasnya ini Ibnul
Qoyyim al-Jauziyyah berkata: Kitab sunannya Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats
as-sijistani rahimahullah adalah kitab Islam yang topiknya tersebut Allah telah
mengkhususkan dia dengan sunannya, di dalam banyak pembahasan yang bisa menjadi
hukum diantara ahli Islam, maka kepadanya hendaklah para mushannif mengambil
hukum, kepadanya hendaklah para muhaqqiq merasa ridho, karena sesungguhnya ia
telah mengumpulkan sejumlah hadits ahkam, dan menyusunnya dengan sebagus-bagus
susunan, serta mengaturnya dengan sebaik-baik aturan bersama dengan kerapnya
kehati-hatian sikapnya dengan membuang sejumlah hadits dari para perawi
majruhin dan dhu’afa. Semoga Allah melimpahkan rahmat atas mereka dan mem-
berikannya pula atas para pelanjutnya.
IMAM AT-TIRMIDZI (209-279 H)
Nama lengkapnya adalah Imam al-Hafidz Abu ‘Isa Muhammad bin
‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak As-Sulami at-Tirmidzi, salah seorang
ahli hadits kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyur lahir pada 279 H
di kota Tirmiz.
Perkembangan dan Perjalanannya
Kakek Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz, kemudian
pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa
dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari
hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Irak,
Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi
ulama-ulama besar dan guru-guru hadits untuk mendengar hadits yang kem dihafal
dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia
tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru
di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar,
mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir
kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup
sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmidzi meninggal
dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70
tahun.
Guru-gurunya
Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama
kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan
fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar
pula hadits dari sebagian guru mereka.
Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin
Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali
bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.
Murid-muridnya
Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan
oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud
‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin
Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud
al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.
Kekuatan Hafalannya
Abu ‘Isa aat-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya
dalam hadits, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang
dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat
hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam
Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:
“Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata: Pada suatu
waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menuslis dua
jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut
berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab
bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira
bahwa “dua jilid kitab” itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid
tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah
bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadits, dan ia
mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di
sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang
kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat
kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita
dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya.
‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun.
Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’
‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang
lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits yang tergolong
hadits-hadits yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan
tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar:
‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.”
Pandangan Para Kritikus Hadits Terhadapnya
Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan
mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn
Hibban, kritikus hadits, menggolangkan Tirmidzi ke dalam kelompok “Siqat” atau
orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh hafalannya, dan berkata: “Tirmidzi
adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadits, menyusun kitab, menghafal
hadits dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama.”Abu Ya’la al-Khalili
dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi adalah
seorang penghafal dan ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para ulama.
Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadits-haditsnya
diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang
yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang
berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Sahih sebagai bukti atas keagungan
derajatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang
hadits yang sangat mendalam.
Fiqh Tirmidzi dan Ijtihadnya
Imam Tirmidzi, di samping dikenal sebagai ahli dan
penghafal hadits yang mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, ia
juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Barang
siapa mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan
kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya
mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat
berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Salah satu
contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadits mengenai penangguhan membayar
piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut: “Muhammad
bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami Sufyan menceritakan kepada
kami, dari Abi az-Zunad, dari al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wassalam, bersabda: ‘Penangguhan membayar utang yang dilakukan oleh si
berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman.
Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya
kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu
diterimanya.” Imam Tirmidzi memberikan penjelasan sebagai berikut: Sebagian
ahli ilmu berkata: ” apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain
yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang
memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal)
tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.” Diktum ini adalah pendapat Syafi’i,
Ahmad dan Ishaq. Sebagian ahli ilmu yang lain berkata: “Apabila harta seseorang
(muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya
dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil).” Mereka memakai alas an
dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan: “Tidak ada kerugian atas
harta benda seorang Muslim.” Menurut Ishak, maka perkataan “Tidak ada kerugian
atas harta benda seorang Muslim” ini adalah “Apabila seseorang dipindahkan
piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain
itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang
dipindahkan utangnya) itu.”
Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita,
bahwa betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmidzi dalam memahami nas-nas
hadits, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.
Karya-karyanya
Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya: 1.
Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi. 2. Kitab Al-‘Ilal.
3. Kitab At-Tarikh. 4. Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah. 5. Kitab Az-Zuhd. 6.
Kitab Al-Asma’ wal-kuna. Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan
terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.
Sekilas tentang Al-Jami’
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidzi
terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolonga salah satu “Kutubus
Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal.
Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmidzi, dinisbatkan kepada
penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmidzi. Namun nama
pertamalah yang popular.
Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar
as-Sahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Sahih Tirmidzi.
Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmidzi
memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya
dengan baik. Ia menerangkan: “Setelah selesai menyusun kitab ini, aku
perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan
mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu
berbicara.”
Imam Tirmidzi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya
meriwayatkan hadits sahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan,
da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.
Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu,
kecuali hadits-hadits yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode
demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia
meriwayatkan semua hadits yang memiliki nilai demikian, baik jalan
periwayatannya itu sahih ataupun tidak sahih. Hanya saja ia selalu memberikan
penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits.
Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: “Semua hadits yang
terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan.” Oleh karena itu, sebagian
besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadits,
yaitu: Pertama, yang artinya: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa
adanya sebab “takut” dan “dalam perjalanan.”
“Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat
kalinya, maka bunuhlah dia.” Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama
menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadits di atas, para
ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar
ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama
tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab
serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu Munzir.
Hadits-hadits da’if dan munkar yang terdapat dalam kitab
ini, pada umumnya hanya menyangkut fada’il al-a’mal (anjuran melakukan
perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti karena
persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadits semacam ini
lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadits-hadits tentang halal
dan haram.
IMAM AL-NASA’I (215-303 H)
Nama lengkap Imam al-Nasa’i adalah Abu Abd al-Rahman Ahmad
bin Ali bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr al-khurasani al-Qadi. Lahir di
daerah Nasa’ pada tahun 215 H. Ada juga sementara ulama yang mengatakan bahwa
beliau lahir pada tahun 214 H. Beliau dinisbahkan kepada daerah Nasa’
(al-Nasa’i), daerah yang menjadi saksi bisu kelahiran seorang ahli hadis
kaliber dunia. Beliau berhasil menyusun sebuah kitab monumental dalam kajian
hadis, yaknial-Mujtaba’ yang
di kemudian hari kondang dengan sebutan Sunan
al-Nasa’i.
Pengembaraan intelektual
Pada awalnya, beliau tumbuh dan berkembang di daerah Nasa’.
Beliau berhasil menghafal al-Qur’an di Madrasah yang ada di desa kelahirannya.
Beliau juga banyak menyerap berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para ulama di
daerahnya. Saat remaja, seiring dengan peningkatan kapasitas intelektualnya,
beliaupun mulai gemar melakukan lawatan ilmiah ke berbagai penjuru dunia.
Apalagi kalau bukan untuk guna memburu ilmu-ilmu keagamaan, terutama disiplin
hadis dan ilmu Hadis.
Belum genap usia 15 tahun, beliau sudah melakukan mengembar
ke berbagai wilayah Islam, seperti Mesir, Hijaz, Iraq, Syam, Khurasan, dan lain
sebagainya. Sebenarnya, lawatan intelektual yang demikian, bahkan dilakukan
pada usia dini, bukan merupakan hal yang aneh dikalangan para Imam Hadis. Semua
imam hadis, terutama enam imam hadis, yang biografinya banyak kita ketahui,
sudah gemar melakukan perlawatan ilmiah ke berbagai wilayah Islam semenjak usia
dini. Dan itu merupakan ciri khas ulama-ulama hadis, termasuk Imam al-Nasa’i.
Kemampuan intelektual Imam al-Nasa’i menjadi kian matang
dan berisi dalam masa pengembaraannya. Namun demikian, awal proses
pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena
justru di daerah inilah, beliau mengalami proses pembentukan intelektual,
sementara masa pengembaraannya dinilai sebagai proses pematangan dan perluasan
pengetahuan.
Guru dan murid
Seperti para pendahulunya: Imam al-Bukhari, Imam Muslim,
Imam Abu Dawud, dan Imam al-Tirmidzi, Imam al-Nasa’i juga tercatat mempunyai
banyak pengajar dan murid. Para guru beliau yang nama harumnya tercatat oleh
pena sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin
Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam
Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami’/Sunan al-Tirmidzi).
Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa
dan ceramah-ceramah beliau, antara lain; Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang
tiga buku kitab Mu’jam),
Abu Ja’far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah
bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakrbin Ahmad al-Sunni.
Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai
“penyambung lidah” Imam al-Nasa’i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa’i.
Sudah mafhum dikalangan peminat kajian hadis dan ilmu
hadis, para imam hadis merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan
yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadis kerap
kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.
Tidak ketinggalan pula Imam al-Nasa’i. Karangan-karangan
beliau yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara
lain; al-Sunan al-Kubra,
al-Sunan al-Sughra (kitab
ini merupakan bentuk perampingan dari kitab al-Sunan
al-Kubra), al-Khashais, Fadhail al-Shahabah, dan al-Manasik. Menurut
sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam
kitabnya Jami al-Ushul,
kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi’i.
Kitab al-Mujtaba
Sekarang, karangan Imam al-Nasa’i paling monumental adalah Sunan al-Nasa’i. Sebenarnya,
bila ditelusuri secara seksama, terlihat bahwa penamaan karya monumental beliau
sehingga menjadi Sunan
al-Nasa’i sebagaimana yang
kita kenal sekarang, melalui proses panjang, dari al-Sunan al-Kubra, al-Sunan
al-Sughra, al-Mujtaba, dan terakhir terkenal dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.
Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan al-Nasa’i,
kitab ini dikenal dengan al-Sunan
al-Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, beliau kemudian menghadiahkan
kitab ini kepada Amir Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir
kemudian bertanya kepada al-Nasa’i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis
shahih?” Beliau menjawab dengan kejujuran, “Ada yang shahih, hasan, dan adapula
yang hampir serupa dengannya”.
Kemudian Amir berkata kembali, “Kalau demikian halnya, maka
pisahkanlah hadis yang shahih-shahih saja”. Atas permintaan Amir ini, beliau
kemudian menyeleksi dengan ketat semua hadis yang telah tertuang dalam kitab al-Sunan al-Kubra. Dan
akhirnya beliau berhasil melakukan perampingan terhadap al-Sunan al-Kubra, sehingga
menjadi al-Sunan al-Sughra.
Dari segi penamaan saja, sudah bisa dinilai bahwa kitab yang kedua merupakan
bentuk perampingan dari kitab yang pertama.
Imam al-Nasa’i sangat teliti dalam menyeleksi hadis-hadis
yang termuat dalam kitab pertama. Oleh karenanya, banyak ulama berkomentar
“Kedudukan kitab al-Sunan
al-Sughra dibawah derajat Shahih al-Bukhari dan Shahih
Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit sekali hadis dhaif yang terdapat di
dalamnya”. Nah, karena hadis-hadis yang termuat di dalam kitab kedua (al-Sunan
al-Sughra) merupakan hadis-hadis pilihan yang telah diseleksi dengan super
ketat, maka kitab ini juga dinamakan al-Mujtaba.
Pengertian al-Mujtaba bersinonim dengan al Maukhtar (yang terpilih), karena memang kitab
ini berisi hadis-hadis pilihan, hadis-hadis hasil seleksi dari kitab al-Sunan al-Kubra.
Disamping al-Mujtaba,
dalam salah satu riwayat, kitab ini juga dinamakan dengan al-Mujtana. Pada masanya,
kitab ini terkenal dengan sebutan al-Mujtaba,
sehingga nama al-Sunan
al-Sughra seperti tenggelam
ditelan keharuman nama al-Mujtaba.
Dari al-Mujtaba inilah kemudian kitab ini kondang
dengan sebutan Sunan
al-Nasa’i, sebagaimana kita kenal sekarang. Dan nampaknya untuk
selanjutnya, kitab ini tidak akan mengalami perubahan nama seperti yang terjadi
sebelumnya.
Kritik Ibn al-Jauzy
Kita perlu menilai jawaban Imam al-Nasa’i terhadap
pertanyaan Amir Ramlah secara kritis, dimana beliau mengatakan dengan
sejujurnya bahwa hadis-hadis yang tertuang dalam kitabnya tidak semuanya
shahih, tapi adapula yang hasan, dan ada pula yang menyerupainya. Beliau tidak
mengatakan bahwa didalamnya terdapat hadis dhaif (lemah) atau maudhu (palsu). Ini artinya beliau tidak
pernah memasukkan sebuah hadispun yang dinilai sebagai hadisdhaif atau maudhu’,
minimal menurut pandangan beliau.
Apabila setelah hadis-hadis yang ada di dalam kitab pertama
diseleksi dengan teliti, sesuai permintaan Amir Ramlah supaya beliau hanya
menuliskan hadis yang berkualitas shahih semata. Dari sini bisa diambil
kesimpulan, apabila hadis hasan saja tidak dimasukkan kedalam kitabnya, hadis
yang berkualitasdhaif dan maudhu’ tentu lebih tidak berhak untuk
disandingkan dengan hadis-hadis shahih.
Namun demikian, Ibn al-Jauzy pengarang kitab al Maudhuat (hadis-hadis palsu), mengatakan bahwa
hadis-hadis yang ada di dalam kitab al-Sunan
al-Sughra tidak semuanya
berkualitas shahih, namun ada yang maudhu’ (palsu). Ibn al-Jauzy menemukan
sepuluh hadis maudhu’ di dalamnya, sehingga memunculkan
kritik tajam terhadap kredibilitas al-Sunan
al-Sughra. Seperti yang telah disinggung dimuka, hadis itu semua shahih
menurut Imam al-Nasa’i. Adapun orang belakangan menilai hadis tersebut ada yang maudhu’, itu merupakan
pandangan subyektivitas penilai. Dan masing-masing orang mempunyai
kaidah-kaidah mandiri dalam menilai kualitas sebuah hadis. Demikian pula kaidah
yang ditawarkan Imam al-Nasa’i dalam menilai keshahihan sebuah hadis, nampaknya
berbeda dengan kaidah yang diterapkan oleh Ibn al-Jauzy. Sehingga dari sini
akan memunculkan pandangan yang berbeda, dan itu sesuatu yang wajar terjadi.
Sudut pandang yang berbeda akan menimbulkan kesimpulan yang berbeda pula.
Kritikan pedas Ibn al-Jauzy terhadap keautentikan karya
monumental Imam al-Nasa’i ini, nampaknya mendapatkan bantahan yang cukup keras
pula dari pakar hadis abad ke-9, yakni Imam Jalal al-Din al-Suyuti, dalam Sunan al-Nasa’i, memang
terdapat hadis yang shahih, hasan, dan dhaif.
Hanya saja jumlahnya relatif sedikit. Imam al-Suyuti tidak sampai menghasilkan
kesimpulan bahwa ada hadis maudhu’ yang termuat dalam Sunan al-Nasa’i,sebagaimana
kesimpulan yang dimunculkan oleh Imam Ibn al-Jauzy. Adapun pendapat ulama yang
mengatakan bahwah hadis yang ada di dalam kitabSunan al-Nasa’i semuanya berkualitas shahih, ini
merupakan pandangan yang menurut Muhammad Abu Syahbah_tidak didukung oleh
penelitian mendalam dan jeli. Kecuali maksud pernyataan itu bahwa mayoritas
(sebagian besar) isi kitab Sunan
al-Nasa’i berkualitas
shahih.
Komentar Ulama
Imam al-Nasa’i merupakan figur yang cermat dan teliti dalam
meneliti dan menyeleksi para periwayat hadis. Beliau juga telah menetapkan
syarat-syarat tertentu dalam proses penyeleksian hadis-hadis yang diterimanya.
Abu Ali al-Naisapuri pernah mengatakan, “Orang yang meriwayatkan hadis kepada
kami adalah seorang imam hadis yang telah diakui oleh para ulama, ia bernama
Abu Abd al Rahman al-Nasa’i.”
Lebih jauh lagi Imam al-Naisapuri mengatakan,
“Syarat-syarat yang ditetapkan al-Nasa’i dalam menilai para periwayat hadis
lebih ketat dan keras ketimbang syarat-syarat yang digunakan Muslim bin al-Hajjaj.”
Ini merupakan komentar subyektif Imam al-Naisapuri terhadap pribadi al-Nasa’i
yang berbeda dengan komentar ulama pada umumnya. Ulama pada umumnya lebih
mengunggulkan keketatan penilaian Imam Muslim bin al-Hajjaj ketimbang
al-Nasa’i. Bahkan komentar mayoritas ulama ini pulalah yang memposisikan Imam
Muslim sebagai pakar hadis nomer dua, sesudah al-Bukhari.
Namun demikian, bukan berarti mayoritas ulama merendahkan
kredibilitas Imam al-Nasa’i. Imam al-Nasa’i tidak hanya ahli dalam bidang hadis
dan ilmu hadis, namun juga mumpuni dalam bidang figh. Al-Daruquthni pernah
mengatakan, beliau adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam
bidang figh pada masanya dan paling mengetahui tentang Hadis dan para rawi.
Al-Hakim Abu Abdullah berkata, “Pendapat-pendapat Abu Abd al-Rahman mengenai
fiqh yang diambil dari hadis terlampau banyak untuk dapat kita kemukakan
seluruhnya. Siapa yang menelaah dan mengkaji kitab Sunan al-Nasa’i, ia akan
terpesona dengan keindahan dan kebagusan kata-katanya.”
Tidak ditemukan riwayat yang jelas tentang afiliansi
pandangan fiqh beliau, kecuali komentar singkat Imam Madzhab Syafi’i. Pandangan
Ibn al-Atsir ini dapat dimengerti dan difahami, karena memang Imam al-Nasa’i
lama bermukim di Mesir, bahkan merasa cocok tinggal di sana. Beliau baru
berhijrah dari Mesir ke Damsyik setahun menjelang kewafatannya.
Karena Imam al-Nasa’i cukup lama tinggal di Mesir,
sementara Imam al-Syafi’i juga lama menyebarkan pandangan-pandangan fiqhnya di
Mesir (setelah kepindahannya dari Bagdad), maka walaupun antara keduanya tidak
pernah bertemu, karena al-Nasa’i baru lahir sebelas tahun setelah kewafatan
Imam al-Syafi’i, tidak menutup kemungkinan banyak pandangan-pandangan fiqh
Madzhab Syafi’i yang beliau serap melalui murid-murid Imam al-Syafi’i yang
tinggal di Mesir. Pandangan fiqh Imam al-Syafi’i lebih tersebar di Mesir
ketimbang di Baghdad. Hal ini lebih membuka peluang bagi Imam al-Nasa’i untuk
bersinggungan dengan pandangan fiqh Syafi’i. Dan ini akan menguatkan dugaan Ibn
al-Atsir tentang afiliasi mazhab fiqh al-Nasa’i.
Pandangan Syafi’i di Mesir ini kemudian dikenal dengan qaul jadid(pandangan baru).
Dan ini seandainya dugaan Ibn al-Atsir benar, mengindikasikan bahwa pandangan
fiqh Syafi’i dan al-Nasa’i lebih didominasi pandangan baru (Qaul Jadid, Mesir)
ketimbang pandangan klasik (Qaul Qadim, Baghdad).
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa Imam
al-Nasa’i merupakan sosok yang berpandangan netral, tidak memihak salah satu
pandangan mazhab fiqh manapun, termasuk pandangan Imam al-Syafi’i. Hal ini
seringkali terjadi pada imam-imam hadis sebelum al-Nasa’i, yang hanya
berafiliasi pada mazhab hadis. Dan independensi pandangan ini merupakan ciri
khas imam-imam hadis. Oleh karena itu, untuk mengklaim pandangan Imam al-Nasa’i
telah terkontaminasi oleh pandangan orang lain, kita perlu menelusuri sumber
sejarah yang konkrit, bukannya hanya berdasarkan dugaan.
Tutup Usia
Setahun menjelang kemangkatannya, beliau pindah dari Mesir
ke Damsyik. Dan tampaknya tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggal
beliau. Al-Daruqutni mengatakan, beliau di Makkah dan dikebumikan diantara
Shafa dan Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah
dari Hamzah al-‘Uqbi al-Mishri.
Sementara ulama yang lain, seperti Imam al-Dzahabi, menolak
pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam al-Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu
daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja’far
al-Thahawi (murid al-Nasa’i) dan Abu Bakar al-Naqatah. Menurut pandangan
terakhir ini, Imam al-Nasa’i meninggal pada tahun 303 H dan dikebumikan di Bait
al-Maqdis, Palestina. Inna
lillah wa Inna Ilai Rajiun. Semoga jerih payahnya dalam mengemban wasiat
Rasullullah guna menyebarluaskan hadis mendapatkan balasan yang setimpal di
sisi Allah. Amiiin.
No comments:
Post a Comment