Para Tabi’in
Nama lengkapnya Sa’id
bin al-Musayyab bin Hazn al-Quraisy al-Makhzumi, ayany dan kakeknya adalah
sahabat Nabi Shallallahu alaihi wassalam, ia dilahirkan sebelum Umar menjadi
khalifah, sejak muda telah melakukan perjalanan siang dan malam untuk
mendapatkan hadist Nabi,.
Mengenai dia sebagaimana
dituturkan oleh Ahmad bin Hambal adalah:” Ia tabi’in paling utama”.
Sedangkan Makhul berkata:” Aku telah menjelajahi bumi untuk menuntut
ilmu, teryata aku tidak bertemu seorangpun yang lebih pandai daripada Sa’id bin
al-Musayyab”. Sementara itu Ali bin al-Madini menyatakan :” Aku
tidak tahu di kalangan tabi’in ada orang yang luas ilmunya daripada dia,
menurutku ia tabi’in terbesar”.
Para ulama meriwayatkan
bahwa ia mengawinkan putrinya kepada Kutsayyir bin Abi Wada’ah hanya dengan mas
kawin dua dirham. Padahal sebelumnya ia menolak lamaran Abdul Malik yang ingin
menjodohkan putrinya dengan al-Walid bin Abdul Malik. Dan ketika Abdul Malik
hendak melaksanakan bai’at bagi putranya al-Walid, Hisyam bin Ismail selaku
pengganti Abdul Malik di Medinah memukul Sa’id bi al-Musayyab dan menghadapnya
dengan pedang, untuk memaksanya melakukan bai’at namun Sa’id tetap tidak mau.
Ibnu Musayyab
meriwayatkan hadist dari Abu Bakar secara Mursal, dan ia mendengar dari Umar,
Utsman, Abu Hurairah, Zaid bin Tsabit, Sayyidah Aisyah dan beberapa yang
lainnya. Yang meriwayatkan dari dia antara lain Salim bin Abdullah, Az-Zuhri,
Qatadah, Syuraik, Abu az-Zanad. Ia wafat pada tahun 94 H.
Nama sebenarnya adalah
Abu Muhammad Urwah bin Zubair bin al-Awwam al-Quraisy. Beliau adalah salah
seorang tabi’in besar dan salah seorang penghapal hadits yang sangat baik. Ia
menerima hadits dari ayahnya sendiri az-Zubair, dari saudaranya Abdullah dari
ibunya ‘Asma binti Abu Bakar as-Shiddiq, dari saudara ibunya Aisyah, dari Said
bin Zaid Hakim bin Hizam, dari Abu Hurairah dan dari yang lainnya.
Hadist haditsnya
diriwayatkan oleh Atha’, Ibnu Abi Mulaikah, Abu Salamahbin Abdurahman,
az-Zuhry, Umar bin Abdul Aziz, dan lima orang anaknya yaitu Hisyam, Muhammad,
Yahya, Abdullah dan Utsman. Ia dikenal orang yang tsiqah dan kuat hapalannya,
Ibnu Syihab az-Zuhry berkata,” Demi Allah, kami hanya mempelajari 1
suku hadits dari 2000 suku hadits”.
Sedangkan Muhammad bin
Sa’ad berkata,” Orang yang paling mengetahui tentang hadits hadits Aisyah
ada 3 orang yaitu : al-Qasim, ‘Urwah dan ‘Amrah”. Ia wafat pada tahun 94 H
Nama lengkapnya adalah
Sa’id bin Jubair al-Asadi al-Kufi, yang mempunyai julukan “Abu Abdillah”,
Ia seorang ahli fiqh, pembaca al-Qura’an yang fasih dan ahli ibadah. Sufyan
ats-Tsauri lebih mendahulukannya dari pada Ibrahim an-Nakha’I, ia
berkata:” Ambilah tafsir dari empat orang, yaitu dari Sa’id bin Jubair,
Mujahid, Ikrimah dan adl-Dlahhak”.
Ibnu Jubair pernah
menulis untuk Abdullah bin Utbah bin Mas’ud ketika Abdullah menjadi Qodli di
Kuffah. Sesudah itu ia menulis untuk Abi Burdah bin Abi Musa. Sa’id bin Jubair
meriwayatkan dari Abdullah bi az-Zubair, Anas bin Malik, Abu Sa’id al Qudri,
dari mereka ini hadits-haditsnya Musnad. Namun, Ia tidak mendengar langsung
dari Abu Hurairah, Abu Musa al-Asy’ari, Ali, Sayiidah Aisyah. Jadi semua
riwayatnya dari mereka adalah Mursal.
Mengenai hal ini Yahya
bin Sa’id berkata:” Hadits-hadits Mursal Sa’id lebih aku sukai dari
pada hadist-hadist Mursal Atha’”. Yang meriwayatkan hadits dari Sa’id bin
Jubair antara lain: al-Amasi, Mansyur bin al-Mu’tamir, Ya’la bin
Hakim,ats-Tsaqafi, dan Simak bin Harb. Maimun bin Mahran berkata:” Sa’id
bin Jubair meninggal dunia, saat orang orang memperlukan ilmunya”. Ia wafat
pada tahun 95 H di Kuffah.
Nama sebenarnya adalah
Ali bin al-Husein bin Ali bin Abi Thalib, neneknya adalah Fatimah az-zahra
binti Rasulillah, terkadang ia disebut dengan Nama Abu Husein atau Abu
Muhammad, sedangkan nama panggilannya adalah Zainal abidin dan As-Sajad, karena
kebanyakan melakukan shalat dimalam hari dan di siang hari.
Perjalanan hidupnya.
Diriwayatkan bahwa Ia
menerima beberapa orang tamu dari Irak, lalu membicarakan Abu Bakar, Umar dan
Utsman tentang sesuatu yang buruk terhadapnya, dan ketika mereka selesai
bicara, maka ia berkata,”Apakah kalian termasuk kaum muhajirin yang didalam
Alquran surat al-Hasyr: 8 yang menegaskan ‘Mereka yang diusir dari kampung
halaman dan dipaksa meninggalkan harta benda mereka, hanya karena mereka ingin
memperoleh karunia Allah dan keridhaan-Nya?”’ Mereka menjawab, ”Bukan…!”
”Apakah kalian termasuk
kaum Anshar yang dinyatakan dalam Alquran surat al-Hasyr 97: ‘Mereka yang
tinggal di Madinah dan telah beriman kepada Allah sebelum kedatangan kaum
Muhajirin. Mereka itu mencintai dan bersikap kasih sayang kepada orang-orang
yang datang berhijrah kepada mereka, dan mereka tidak mempunyai pamrih apa pun
dalam memberikan bantuan kepada kaum Muhajirin. Bahkan mereka lebih
mengutamakan orang-orang yang hijrah daripada diri mereka sendiri, kendatipun
mereka berada dalam kesusahan?”’ ”Bukan…!”
Kalau begitu berati
kalian menolak untuk tidak termasuk ke dalam salah satu dari kedua golongan
tersebut. Selanjutnya ia berkata” Aku bersaksi bahwa kalian bukanlah orang yang
dimaksud dalam firman allah, “”Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah
Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.”
(Qs. Al Hasyr:10). Maka keluarlah kalian dari rumahku, niscaya Allah murka
kepada kalian”.
Ali bin al Husein Zainal
‘Abidin dianggap sebagai ulama yang paling masyur di Madinah dan pemimpin ulama
tabi’in di sana. Hal ini keterangan yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah,
dan yang diriwayatkan Ibnu Abbas.
Kurang lebih 30 tahun
Zainal Abidin bergiat mengajar berbagai cabang ilmu agama Islam di Masjid
Nabawi di Madinah. Sikap tidak berpihak pada kelompok mana pun tersebut
mengundang simpati dari semua kelompok yang bertikai. Zainal Abidin disegani
oleh segenap kaum Muslimin baik kawan maupun lawan.
Pada zamannya, Zainal
Abidin diakui masyarakat Muslimin sebagai ulama puncak dan kharismatik. Ia
sangat dihormati, disegani, dan diindahkan nasihat-nasihatnya. Kenyataan itu
tidak hanya karena kedalaman ilmu pengetahuan agamanya, tidak pula karena
satu-satunya pria keturunan Rasulullah, tetapi juga karena kemuliaan akhlak dan
ketinggian budi pekertinya.
Salah seorang Putera
‘Amar bin Yasir meriwayatkan bahwa: pada suatu hari Ali bin Husein
kedatangan suatu kaum, lalu beliau menyuruh pembantunya untuk membuatkan daging
panggang, Kemudian pembantu itu dengan terburu buru sehingga besi untuk
membakar daging terjatuh mengenai kepala anak Alin bin usein yang masih kecil
sehingga anak tersebut meninggal. Maka Ali berkata kepada pembantunya,’ kamu
kepanasan, sehingga besi itu jatuh’. Setelah itu beliau sendiri mempersiapkan
untuk memakamkan anaknya.”. Menunjukan kesabaran dan kepasrahan beliau, dimana
seorang pembantu telah menyebabkan kematian anaknya. sehingga ia membalas
kejelekan dengan suatu kebaikan.
Sebuah keterangan yang
diriwayatkan oleh Hisyam bin Abdul Malik ketika ia sedang menunaikan ibadah
haji sebelum diangkat menjadi Khalifah, ia berusaha untuk mencium hajar aswad
tetapi ia tidak mampu melakukannya, kemudian datang Ali bin Husein hendak
mencium hajar aswad juga sehingga orang orang disekitarnya menyingkir dan
berhenti lalu beliau menciumnya. Kemudian orang orang bertanya kepada Hisyam
siapa orang itu?, dia menjawab aku tidak mengenalnya. Maka seseorang berkata”
Aku mengenalnya, dia adalah Ali bin al Husein.
Para ulama sepakat bahwa
Ali bin al Husein ini anak paling kecil dari Husein yang selamat, sedangkan
kakak kakaknya dan kedua orang tuanya terbunuh sebagai syuhada. Zainal Abidin
kecil selamat dari pembunuhan keluarga Rasulullah, ketika itu ia sedang
terlentang diatas tempat tidur karena sakit, sehingga keadaanya luput dari
pembunuhan, saat itu usianya 23 tahun. Allah melindungi dan menyelamatkannya.
Ia wafat pada tahun 74 H
di Madinah dalam usia 58 tahun dan dimakamkan di Baqi. Riwayat lain dikatakan
ia wafat pada tahun 93 H dalam usia 57 tahun.
MUHAMMAD BIN AL-HANAFIYYAH (WAFAT 181 H)
Namanya adalah Muhammad Ibn al-Hanafiah, ia banyak
menimba ilmu dari ‘Ali bin Abi thalib.” pada saat Telah terjadi
percekcokan antara Muhammad ibn al-Hanafiyyah dan saudaranya al-Hasan ibn Ali,
maka Ibn al-Hanafiah mengirim surat kepada saudaranya itu, isinya,
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kelebihan kepadamu atas diriku…Ibumu Fathimah
binti Muhammad ibn Abdullah, sedangkan ibuku seorang wanita dari Bani
“Haniifah.” Kakekmu dari garis ibu adalah utusan Allah dan makhluk pilihannya,
sedangkan kakekku dari garis ibu adalah Ja’far ibn Qais. Apabila suratku ini
sampai kepadamu, kemarilah dan berdamailah denganku, sehingga engkau memiliki
keutamaan atas diriku dalam segala hal.”
Begitu surat itu sampai ke tangan al-Hasan…ia segera ke
rumahnya dan berdamai dengannya. Siapakah Muhammad ibn al-Hanafiyyah, seorang
adib (ahli adab/pujangga), seorang yang pandai dan berakhlak lembut ini?
Marilah, kita membuka lembaran hidupnya dari awal.
Kisah ini bermula sejak akhir kehidupan Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. Pada suatu hari, Ali ibn Abi Thalib duduk bersama
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, maka ia berkata, “Wahai Rasulullah…apa
pendapatmu apabila aku dikaruniani seorang anak setelah engkau meninggal,
(bolehkah) aku menamainya dengan namamu dan memberikan kun-yah (sapaan yang
biasanya diungkapkan dengan ‘Abu fulan…’) dengan kunyah-mu?.” “Ya” jawab
beliau.
Kemudian hari-hari pun berjalan terus. Dan Nabi yang mulia S.a.w.
bertemu dengan ar-Rafiiqul al-A’laa (berpulang ke sisi Allah)…dan setelah
hitungan beberapa bulan Fathimah yang suci, Ibunda al-Hasan dan al-Husain
menyusul beliau (wafat).
Ali lalu menikahi seorang wanita Bani Haniifah. Ia menikahi
Khaulah binti Ja’far ibn Qais al-Hanafiyyah, yang kemudian melahirkan seorang
anak laki-laki untuknya. Ali menamainya “Muhammad” dan memanggilnya dengan
kun-yah “Abu al-Qaasim” atas izin Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Hanya
saja orang-orang terlanjur memanggilnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah, untuk
membedakannya dengan kedua saudaranya al-Hasan dan al-Husain, dua putra
Fathimah az-Zahra. Kemudian iapun dikenal dalam sejarah dengan nama tersebut.
Muhammad ibn al-Hanafiyyah lahir di akhir masa khilafah
ash-Shiddiq (Abu Bakar) RA. Ia tumbuh dan terdidik di bawah perawatan ayahnya,
Ali bin Abi Thalib, ia lulus di bawah didikannya.
Ia belajar ibadah dan kezuhudan dari ayahnya…mewarisi kekuatan
dan keberaniannya… menerima kefasihan dan balaghoh darinya. Hingga ia menjadi
pahlawan perang di medan pertempuran…singa mimbar di perkumpulan
manusia…seorang ahli ibadah malam (Ruhbaanullail) apabila kegelapan telah
menutup tirainya ke atas alam dan saat mata-mata tertidur lelap.
Ayahnya telah mengutusnya ke dalam pertempuran-pertempuran
yang ia ikuti. Dan ia (Ali) telah
memikulkan di pudaknya beban-beban pertempuran yang tidak ia pikulkan kepada
kedua saudaranya yang lain; al-Hasan dan al-Husain. Ia pun tidak terkalahkan
dan tidak pernah melemah keteguhannya.
Pada suatu ketika pernah dikatakan kepadanya, “Mengapakah
ayahmu menjerumuskanmu ke dalam kebinasaan dan membebankanmu apa yang kamu
tidak mampu memikulnya dalam tempat-tempat yang sempit tanpa kedua saudaramu
al-Hasan dan al-Husain?”
Ia menjawab, “Yang demikian itu karena kedua saudaraku
menempati kedudukan dua mata ayahku…sedangkan aku menempati kedudukan dua
tangannya…sehingga ia (Ali) menjaga kedua matanya dengan kedua tangannya.”
Dalam perang “Shiffin” yang berkecamuk antara Ali ibn Abi
Thalib dan Muawiyah ibn Abi Sufyan RA. Adalah Muhammad ibn al-Hanafiyyah
membawa panji ayahnya.
Dan di saat roda peperangan berputar menggilas pasukan dari
dua kelompok, terjadilah sebuah kisah yang ia riwayatkan sendiri. Ia
menuturkan, “Sungguh aku telah melihat kami dalam perang “Shiffin”, kami
bertemu dengan para sahabat Muawiyah, kami saling membunuh hingga aku menyangka
bahwa tidak akan tersisa seorang pun dari kami dan juga dari mereka. Aku menganggap
ini adalah perbuatan keji dan besar.
Tidaklah berselang lama hingga aku mendengar seseorang yang
berteriak di belakangku, “Wahai kaum Muslimin…(takutlah kepada) Allah,
(takutlah kepada Allah)…wahai kaum Muslimin…
Siapakah
yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?…
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?…
Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami?*…
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?…
Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami?*…
Wahai kaum Muslimin…takutlah kepada Allah, takutlah kepada
Allah dan sisakan kaum muslimin, wahai ma’syarol muslimin.”
Maka sejak hari itu, aku berjanji kepada diriku untuk tidak
mengangkat pedangku di wajah seorang Muslim. Kemudian Ali mati syahid di tangan
pendosa yang dzalim (di tangan Abdurrahman ibn Miljam )
Kekuasaan pun berpindah kepada Muawiyah ibn Abi Sufyan.
Maka, Muhammad ibn al-Hanafiyyah membaiatnya untuk selalu taat dan patuh dalam
keadaan suka maupun benci karena keinginannya hanya untuk menyatukan suara dan
mengumpulkan kekuatan serta untuk menggapai izzah bagi Islam dan Muslimin.
Muawiyah merasakan ketulusan baiat ini dan kesuciannya. Ia
merasa benar-benar tentram kepada sahabatnya, hal mana menjadikannya mengundang
Muhammad ibn al-Hanafiyyah untuk mengunjunginya. Maka, ia pun mengunjunginya di
Damaskus lebih dari sekali…dan lebih dari satu sebab.
Di antaranya, bahwa kaisar Romawi menulis surat kepada
Muawiyah. Ia mengatakan, “Sesungguhnya raja-raja di sini saling berkoresponden
dengan raja-raja yang lain. Sebagian mereka bersenang-senang dengan yang
lainnya dengan hal-hal aneh yang mereka miliki…sebagin mereka saling berlomba
dengan sebagian yang lain dengan keajaiban-keajaiban yang ada di
kerajaan-kerajaan mereka. Maka, apakah kamu mengizinkan aku untuk mengadakan
(perlombaan) antara aku dan kamu seperti apa yang terjadi di antara mereka?” Maka,
Muawiyah mengiyakannya dan mengizinkannya.
Kaisar Romawi mengirim dua orang pilih-tandingnya. Salah
seorang darinya berbadan tinggi dan besar sekali sehingga seakan-akan ia ibarat
pohon besar yang menjulang tinggi di hutan atau gedung tinggi nan kokoh. Adapun
orang yang satu lagi adalah seorang yang begitu kuat, keras dan kokoh
seakan-akan ia ibarat binatang liar yang buas. Sang kaisar menitipkan surat
bersama keduanya, ia berkata dalam suratnya, “Apakah di kerajaanmu ada yang
menandingi kedua orang ini, tingginya dan kuatnya?.”
Muawiyah lalu berkata kepada ‘Amr ibn al-‘Aash, “Adapun
orang yang berbadan tinggi, aku telah menemukan orang yang sepertinya bahkan
lebih darinya…ia Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Adapun orang yang kuat, maka aku
memperlukan pendapatmu.”
‘Amr berkata, “Di sana ada dua orang untuk urusan ini,
hanya saja keduanya jauh darimu. Mereka adalah Muhammad ibn al-Hanafiyyah dan
Abdullah ibn az-Zubair.”
“Sesungguhnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidaklah jauh dari
kita,” kata Muawiyyah.
“Akan tetapi apakah engkau mengira ia akan ridla bersama
kebesaran kemuliaannya dan ketinggian kedudukannya untuk mengalahkan kekuatan
orang dari Romawi ini dengan ditonton manusia,?” tanya ‘Amr.
Muawiyah berkata, “Sesungguhnya ia akan melakukan hal itu
dan lebih banyak dari itu, apabila ia menemukan izzah bagi Islam padanya.”
Kemudian Muawiyah memanggil keduanya, Qais ibn Sa’d dan
Muhammad ibn al-Hanafiyyah.
Ketika majlis telah dimulai, Qais ibn Sa’d berdiri dan
melepaskan sirwal-sirwal-nya (celana yang lebar) lalu melemparkannya kepada
al-‘Ilj** dari Romawi dan menyuruhnya untuk memakainya. Ia pun memakainya…maka,
sirwalnya menutupi sampai di atas kedua dadanya sehingga orang-orang ketawa
dibuatnya.
Adapun Muhammad ibn al-Hanafiyyah, ia berkata kepada
penterjemahnya, “Katakan kepada orang Romawi ini…apabila ia mau, ia duduk dan
aku berdiri, lalu ia memberikan tangannya kepadaku. Entah aku yang akan
mendirikannya atau dia yang mendudukkanku…Dan bila ia mau, dia yang berdiri dan
aku yang duduk…” Orang Romawi tadi memilih duduk.
Maka Muhammad memegang tangannya, dan (menariknya)
berdiri…dan orang Romawi tersebut tidak mampu (menariknya) duduk… Kesombongan
pun merayap dalam dada orang Romawi, ia memilih berdiri dan Muhammad duduk.
Muhammad lalu memegang tangannya dan menariknya dengan satu hentakan
hampir-hampir melepaskan lengannya dari pundaknya…dan mendudukkannya di tanah.
Kedua orang kafir Romawi tersebut kembali kepada rajanya
dalam keadaan kalah dan terhina.
Hari-hari berputar lagi… Muawiyah dan putranya Yazid serta Marwan ibn al-Hakam telah berpindah ke rahmatullah…Kepemimpinan Bani Umayyah berpindah kepada Abdul Malik ibn Marwan, ia mengumumkan dirinya sebagai khalifah muslimin dan penduduk Syam membaiatnya.
Hari-hari berputar lagi… Muawiyah dan putranya Yazid serta Marwan ibn al-Hakam telah berpindah ke rahmatullah…Kepemimpinan Bani Umayyah berpindah kepada Abdul Malik ibn Marwan, ia mengumumkan dirinya sebagai khalifah muslimin dan penduduk Syam membaiatnya.
Sementara penduduk Hijaz dan Irak telah membaiat Abdullah
ibn az-Zubair***.
Setiap dari keduanya mulai menyeru orang yang belum
membaiatnya untuk membaiatnya…dan mendakwakan kepada manusia bahwa ia yang
paling berhak dengan kekhalifahan daripada sahabatnya. Barisan kaum muslimin
pun terpecah lagi…
Di sinilah Abdullah ibn az-Zubair meminta kepada Muhammad
ibn al-Hanafiyyah untuk membaiatnya sebagaimana penduduk Hijaz telah
membaiatnya.
Hanya saja Ibn al-Hanafiyyah memahami betul bahwa baiat
akan menjadikan hak-hak yang banyak di lehernya bagi orang yang ia baiat. Di
antaranya adalah menghunus pedang untuk menolongnya dan memerangi orang-orang
yang menyelisihinya. Dan para penyelisihnya hanyalah orang-orang muslim yang
telah berijtihad, lalu membaiat orang yang tidak ia bai’at.
Tidaklah orang yang berakal sempurna lupa akan kejadian di
hari “Shiffin.”
Tahun yang panjang belum mampu menghapus suara yang
menggelegar dari kedua pendengarannya, kuat dan penuh kesedihan, dan suara itu
memanggil dari belakangnya, “Wahai kaum Muslimin…(takutlah kepada) Allah, (takutlah
kepada) Allah…wahai kaum Muslimin…
Siapakah
yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?…
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?… Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami.”.. Ya, ia belum lupa sedikitpun dari itu semua.
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?… Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami.”.. Ya, ia belum lupa sedikitpun dari itu semua.
Maka, ia berkata kepada Abdullah ibn az-Zubair,
“Sesungguhnya engkau mengetahui dengan sebenar-benarnya, bahwa dalam perkara
ini aku tidak memiliki tujuan dan tidak pula permintaan…hanyalah aku ini
seseorang dari kaum muslimin. Apabila kalimat (suara) mereka berkumpul kepadamu
atau kepada Abdul Malik, maka aku akan membaiat orang yang suara mereka
berkumpul padanya. Adapun sekarang, aku tidak membaiatmu…juga tidak
membaiatnya.”
Mulailah Abdullah mempergaulinya dan berlemah lembut
kepadanya dalam satu kesempatan. Dan dalam kesempatan yang lain ia berpaling
darinya dan bersikap keras kepadanya.
Hanya saja, Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidak berselang lama
hingga banyak orang yang bergabung dengannya ketika mereka mengikuti
pendapatnya. Dan mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepadanya, hingga
jumlah mereka sampai tujuh ribu orang dari orang-orang yang memilih untuk
memisahkan diri dari fitnah. Dan mereka enggan untuk menjadikan diri mereka
kayu bakar bagi apinya yang menyala.
Setiap kalii pengikut Ibn al-Hanafiyyah bertambah
jumlahnya, bertambahlah kemarahan Ibn az-Zubair kepadanya dan ia terus
mendesaknya untuk membaiatnya.
Ketika Ibn az-Zubair telah putus asa, ia memerintahkannya
dan orang-orang yang bersamanya dari Bani Hasyim dan yang lainnya untuk menetap
di Syi’b (celah di antara dua bukit) mereka di Mekkah, dan ia menempatkan
mata-mata untuk mengawasi mereka.
Kemudian ia berkata kepada mereka, “Demi Allah,
sungguh-sungguh kalian harus membaiatku atau benar-benar aku akan membakar
kalian dengan api…
Kemudian ia menahan mereka di rumah-rumahnya dan
mengumpulkan kayu bakar untuk mereka, lalu mengelilingi rumah-rumah dengannya
hingga sampai ujung tembok. Sehingga seandainya ada satu kayu bakar menyala
niscaya akan membakar semuanya.
Di saat itulah, sekelompok dari para pengikut Ibn
al-Hanafiyyah berdiri kepadanya dan berkata, “Biarkan kami membunuh Ibn
az-Zubair dan menenangkan manusia dari (perbuatan)nya.”
Ia berkata, “Apakah kita akan menyalakan api fitnah dengan
tangan-tangan kita yang karenanya kita telah menyepi (memisahkan diri)…dan kita
membunuh seorang sahabat Rasulullah S.a.w. dan anak-anak dari sahabatnya?!
Tidak, demi Allah kita tidak akan melakukan sedikitpun apa yang manjadikan
Allah dan Rasul-Nya murka.”
Berita tentang apa yang diderita oleh Muhammad ibn
al-Hanafiyah dan para pengikutnya dari kekerasan Abdullah ibn az-Zubair sampai
ke telinga Abdul Malik ibn Marwan. Ia melihat kesempatan emas untuk menjadikan
mereka condong kepadanya.
Ia lantas mengirim surat bersama seorang utusannya, yang
seandainya ia menulisnya untuk salah seorang anaknya tentunya ‘dialek’nya tidak
akan sehalus itu dan redaksinya tidak selembut itu.
Dan di antara isi suratnya adalah, “Telah sampai berita
kepadaku bahwa Ibn az-Zubair telah mempersempit gerakmu dan orang-orang yang
bersamamu…ia memutus tali persaudaraanmu… dan merendahkan hakmu. Ini negeri
Syam terbuka di depanmu, siap menjemputmu dan orang-orang yang bersamamu dengan
penuh kelapangan dan keluasan…singgahlah di sana dimana engkau mau, niscaya engkau
akan menemukan penduduknya mengucapkan selamat kepadamu dan para tetangga yang
mencintaimu…dan engkau akan mendapatkan kami orang-orang yang memahami
hakmu…menghormati keutamaanmu…dan menyambung tali persaudaraanmu Insya Allah…
Muhammad ibn al-Hanafiyah dan orang-orang yang bersamanya
berjalan menuju negeri Syam… sesampainya di “Ublah”, mereka menetap di sana. Penduduknya
menempatkan mereka di tempat yang paling mulia dan menjamu mereka dengan baik
sebaga tetangga. Mereka mencitai Muhammad ibn al-Hanafiyah dan mengagungkannya,
karena apa yang mereka lihat dari kedalaman (ketekunan) ibadahnya dan kejujuran
zuhudnya.
Ia mulai menyuruh mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah
mereka dari yang munkar. Ia mendirikan syi’ar-syi’ar di antara mereka dan
mengadakan ishlah dalam perselisihan mereka. Ia tidak membiarkan seorang pun
dari manusia mendzalimi orang lain.
Di saat berita itu sampai ke telinga Abdul Malik ibn
Marwan, hal tersebut memberatkan hatinya. Ia kemudian bermusyawarah dengan
orang-orang terdekatnya. Mereka berkata kepadanya, “Kami tidak berpendapat agar
engkau memperbolehkannya tinggal di kerajaanmu. Sedangkan sirahnya sebagaimana
yang engkau ketahui…entah ia membaiatmu…atau ia kembali ke tempatnya semula.”
Maka, Abdul Malik menulis surat untuknya dan berkata,
“Sesungguhnya engkau telah mendatangi negeriku dan engkau singgah di salah satu
ujungnya. Dan ini peperangan yang terjadi antara diriku dan Abdullah ibn
az-Zubair. Dan engkau adalah seseorang yang memiliki tempat dan nama di antara
kaum Muslimin. Dan aku melihat agar engkau tidak tinggal di negeriku kecuali
bila engkau membaiatku. Bila engkau membaiatku, aku akan memberimu seratus
kapal yang datang kepadaku dari “al-Qalzom” kemarin, ambillah beserta apa yang
ada padanya. Bersama itu engkau berhak atas satu juta dirham ditambah dengan
jumlah yang kamu tentukan sendiri untuk dirimu, anak-anakmu, kerabatmu,
budak-budakmu dan orang-orang yang bersamamu. Bila engkau menolaknya maka
pergilah dariku ke tempat yang aku tidak memiliki kekuasaan atasnya.”
Muhammad ibn al-Hanafiyah kemudian menulis balasan, “Dari
Muhammad ibn Ali, kepada Abdul Malik ibn Marwan. Assalamu ‘alaika…Sesungguhnya
aku memuji kepada Allah yang tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia,
(aku berterima kasih) kepadamu. Amma ba’du…Barangkali engkau menjadi ketakutan
terhadapku. Dan aku mengira engkau adalah orang yang paham terhadap hakikat
sikapku dalam perkara ini. Aku telah singgah di Mekkah, maka Abdullah ibn
az-Zubair menginginkan aku untuk membaiatnya, dan tatkala aku menolaknya ia pun
berbuat jahat terhadap pertentanganku. Kemudian engkau menulis surat kepadaku,
memanggilku untuk tinggal di negeri Syam, lalu aku singgah di sebuah tempat di
ujung tanahmu di karenakan harganya murah dan jauh dari markaz (pusat)
pemerintahanmu. Kemudian engkau menulis kepadaku apa yang telah engkau
tuliskan. Dan kami Insya Allah akan meninggalkanmu.”
Muhammad ibn al-Hanafiyyah beserta orang-orangnya dan
kelurganya meninggalkan negeri Syam, dan setiap kali ia singgah di suatu tempat
ia pun di usir darinya dan diperintahkan agar pergi darinya.
Dan seakan-akan kesusahan belum cukup atasnya, hingga Allah berkehendak mengujinya dengan kesusahan lain yang lebih besar pengaruhnya dan lebih berat tekanannya…
Yang demikian itu, bahwa sekelompok dari pengikutnya dari
kalangan orang-orang yang hatinya sakit dan yang lainnya dari kalangan
orang-orang lalai. Mereka mulai berkata, “Sesungguhnya Rasulullah S.a.w. telah
menitipkan di hati Ali dan keluarganya banyak sekali rahasia-rahasia ilmu,
qaidah-qaidah agama dan perbendaharaan syariat. Beliau telah mengkhususkan
Ahlul Bait dengan apa yang orang lain tidak mengetahuinya.”
Orang yang ‘alim, beramal dan mahir ini memahami betul apa
yang diusung oleh ucapan ini dari penyimpangan, serta bahaya-bahaya yang mungkin
diseretnya atas Islam dan Muslimin. Ia pun mengumpulkan manusia dan berdiri
mengkhutbahi mereka… ia memuji Allah AWJ dan menyanjungnya dan bershalawat atas
Nabi-Nya Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam… kemudian berkata, “Sebagian
orang beranggapan bahwa kami segenap Ahlul Bait mempunyai ilmu yang Rasulullah S.a.w.
mengkhususkan kami dengannya, dan tidak memberitahukan kepada siapapun selain
kami. Dan kami –demi Allah- tidaklah mewarisi dari Rasulullah melainkan apa
yang ada di antara dua lembaran ini, (dan ia menunjuk ke arah mushaf). Dan
sesungguhnya barangsiapa yang beranggapan bahwa kami mempunyai sesuatu yang
kami baca selain kitab Allah, sungguh ia telah berdusta.”
Adalah sebagian pengikutnya mengucapkan salam kepadanya,
mereka berkata, “Assalamu’alaika wahai Mahdi.”
Ia menjawab, “Ya, aku adalah Mahdi (yang mendapat petunjuk)
kepada kebaikan…dan kalian adalah para Mahdi kepada kebaikan Insya Allah…akan
tetapi apabila salah seorang dari kalian mengucapkan salam kepadaku, maka
hendaklah menyalamiku dengan namaku. Hendaklah ia berkata, “Assalamu’alaika ya
Muhammad.”
Tidak berlangsung lama kebingungan Muhammad ibn
al-Hanafiyyah tentang tempat yang akan ia tinggali beserta orang-orang yang
bersamanya…Allah telah berkehendak agar al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqofi
menumpas Abdullah ibn az-Zubair…dan agar manusia seluruhnya membaiat Abdul
Malik ibn Marwan.
Maka, tidaklah yang ia lakukan kecuali menulis surat kepada
Abdul Malik, ia berkata, “Kepada Abdul Malik ibn Marwan, Amirul Mukminin, dari
Muhammad ibn Ali. Amma ba’du… Sesungguhnya setelah aku melihat perkara ini
kembali kepadamu, dan manusia membaiatmu. Maka, aku seperti orang dari mereka.
Aku membaiatmu untuk walimu di Hijaz. Aku mengirimkan baiatku ini secara
tertulis. Wassalamu’alaika.”
Ketika Abdul Malik membacakan surat tersebut kepada para
sahabatnya, mereka berkata, “Seandainya ia ingin memecah tongkat ketaatan
(baca: keluar dari ketaatan) dan membikin perpecahan dalam perkara ini, niscaya
ia mampu melakukannya, dan niscaya engkau tidak memiliki jalan atasnya…Maka
tulislah kepadanya dengan perjanjian dan keamanan serta perjanjian Allah dan
Rasul-Nya agar ia tidak diusir dan diusik, ia dan para sahabatnya.”
Abdul Malik kemudian menulis hal tersebut kepadanya. Hanya
saja Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidak hidup lama setelah itu. Allah telah
memilihnya untuk berada di sisi-Nya dalam keadaan ridla dan diridlai.
Semoga Allah memberikan cahaya kepada Muhammad ibn
al-Hanafiyah di kuburnya, dan semoga Allah mengindahkan ruhnya di surga…ia
termasuk orang yang tidak menginginkan kerusakan di bumi tidak pula ketinggian
di antara manusia.
Nama sebenarnya adalah
Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud al-Hudzaly, seorang ulama ta’biin
yang terkenal, Ubaidullah menerima ilmunya dari beberapa tabi’in yang terkenal
dan juga menerima ilmunya dari beberapa orang sahabat seperti Ibnu Umar,Ibnu
Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa’id al-Khudlry, Abu Waqid al-Laitsy, Zaid ibn
Khalid, an Nu’man bin Basyir, Aisyah, Fatimah binti Qais, dan lainnya.
Hadist hadistnya
diriwayatkan dari Irak bin Malik, az-Zuhry, Abu Zinad, Shalih bin Kaisan dan lain
lain.
Para ulama sepakat ia
orang yang tsiqah, kuat hapalannya hingga Ibnu Abbas menghormatinya sebagai
orang yang tinggi ilmunya dalam bidang hadist dan fiqh.
Az-Zuhry berkata,” Saya
tidak duduk dengan seorang alim melainkan saya merasakan bahwa saya mengetahui
ilmunya, selain dari Ubaidullah yang setiap saya datang kepadanya, saya
memperoleh ilmu yang baru”.
Ibnu Sa’ad
berkata.” Ubaidullah, adalah seorang yang alim dan tsiqah, ahli dalam
bidang fiqh dan banyak hadistnya”.
Karena tinggi
kedudukannya dan banyak ilmunya maka ia dipilih menjadi guru untuk Umar bin
Abdul Aziz. Ia wafat pada tahun 94 H.
Nama sebenarnya adalah
Abu Abdullah Salim bin Abdullah bin Umar bin Khaththab al Quraisy al Aday al
Madany. Ia seorang ulama tabi’in dan seorang pemuka ilmu. Ia menerima hadits
dari ayahnya, dari Ayyub al-Anshary, Rafi’ bin Khadij, Abu Hurairah dan Aisyah
dan juga menerima hadits dari para tabi’in.
Haditsnya diriwayatkan
oleh ‘Amr bin Dinnar, Nafi, Az=Zuhry, Musa bin Uqbah, Humaidath thawil, Shalih
bin Kaisan dan juga hadits haditsnya diriwayatkan oleh tabi’in lainnya. Para
ulama menetapkan bahwa ia Tsiqah dan imam dalam bidang hadist. Ishaq bin
Ruhawaih berkata,” Hadits yang palih Shahih sanadnya bersumber dari
az-Zuhry dari Salim dari Ayahnya”.
Muhammad Sa’id berkata
“ Salim adalah seorang ulama yang banyak hadits, seorang yang tinggi
ilmunya” dan seorang yang wara’”. Ia wafat pada tahun 106 H. menurut
al-Bhukhary dan Abu Nu’aim.
Al-Qasim yang banyak
meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aslam -bekas
budak Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma-, merupakan seorang tabi’in yang tsiqah
(amanah). Wajar jika kemudian ‘Umar bin Abdul ‘Aziz yang dikenal sebagai
khalifah kelima yang adil, tertarik akan keamanahannya. Ia berkata, “Seandainya
aku punya sedikit kekuasaan, aku akan jadikan Al-Qasim sebagai khalifah.”
Al-Qasim kecil sabar menjalani takdir Allah sebagai anak yatim dalam tarbiyah
istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.
Al-Qasim, yang menurut
Abdullah bin Az-Zubair radhiallahu ‘anhuma adalah cucu Abu Bakar Ash Shiddiq
radhiallahu ‘anhu yang paling mirip dengan kakeknya ini, mengatakan: “‘Aisyah
adalah seorang mufti wanita dari jaman Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan seterusnya
sampai ia meninggal. Aku senantiasa bersimpuh menimba ilmu darinya dan juga
duduk belajar kepada Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar”. Ini adalah
ungkapan yang mengisyaratkan antusiasnya terhadap ilmu din (agama) meskipun
menanggung beban hidup berat sebagai anak yatim.
Ayyub, salah seorang
ulama hadits, berkata, “Aku tidak melihat seorang pun yang lebih utama darinya.
Ia tidak mau mengambil uang yang halal untuknya senilai seratus ribu dinar”.
Ini adalah ungkapan seorang alim yang menunjukkan sifat wara’ dan keutamaan
Al-Qasim. Bahkan kehati-hatiannya dalam berfatwa, ia katakan sendiri,
“Seseorang hidup dengan kebodohan setelah mengetahui hak Allah, lebih baik
baginya daripada ia mengatakan apa-apa yang ia tidak mengetahuinya.”
Adapun ketinggian
ilmunya dinyatakan oleh beberapa ulama, di antaranya: Anaknya, Abdurrahman bin
Al-Qasim, berkata, “Ia adalah manusia paling utama di jamannya.” Abdurrahman
bin Abiz-Zinad berkata, “Aku tidak melihat seorang yang lebih tahu tentang As
Sunnah daripada Al-Qasim bin Muhammad, dan seseorang tidak dianggap lelaki
hingga ia mengetahui As Sunnah, tak seorang pun yang lebih jenius akalnya
darinya.” Khalid bin Nazar (menceritakan, red) dari Ibnu ‘Uyainah, katanya:
“Orang yang paling mengetahui hadits ‘Aisyah ada tiga: Al-Qasim bin Muhammad,
‘Urwah bin Az-Zubair, dan ‘Amrah binti ‘Abdirrahman.”
Ia pun memiliki banyak
hikmah yang ia ucapkan. Al-Imam Malik berkata, “Al-Qasim didatangi seorang
penguasa Madinah yang akan menanyakan sesuatu, lalu Al-Qasim berkata, ‘Berkata
dengan ilmu termasuk memuliakan diri sendiri’.” Al-Qasim juga berkata, “Allah
menjadikan (bagi) kejujuran, (dengan) kebaikan yang akan datang sebagai ganti
dari-Nya”.
Sebelum meninggal,
Al-Qasim berwasiat kepada salah seorang anaknya, “Ratakanlah kuburku dan
taburilah dengan tanah serta janganlah kamu menyebut-nyebut keadaanku demikian
dan demikian.”
Al-Qasim, seorang tokoh
tabi’in besar yang buta matanya di akhir kehidupannya, wafat pada masa
kekhalifahan Yazid bin Abdil Malik bin Marwan, dalam usia 71 tahun. Tepatnya
pada tahun 107 H, sewaktu menunaikan ibadah ‘umrah bersama Hisyam bin Abdil
Malik di perbatasan antara kota Madinah dan Makkah.Walllahu a’lam.
AL HASAN AL BASHRI (30-110 H)
Suatu hari ummahatul mu’minin, Ummu Salamah, menerima
khabar bahwa mantan “maula” (pembantu wanita)-nya telah melahirkan seo¬rang
putera mungil yang sehat. Bukan main gembiranya hati Ummu Salamah mendengar
berita tersebut. Diutusnya seseorang untuk mengundang bekas pembantunya itu
untuk menghabiskan masa nifas di rumahnya.
Ibu muda yang baru melahirkan tersebut bernama Khairoh,
orang yang amat disayangi oleh Ummu Salamah. Rasa cinta ummahatul mu’minin
kepada bekas maulanya itu, membuat ia begitu rindu untuk segera melihat
puteranya. Ketika Khairoh dan puteranya tiba, Ummu Salamah memandang bayi yang
masih merah itu dengan penuh sukacita dan cinta. Sungguh bayi mungil itu sangat
menawan. “Sudahkah kau beri nama bayi ini, ya Khairoh?” tanya Ummu Salamah.
“Belum ya ibunda. Kami serahkan kepada ibunda untuk menamainya” jawab Khai¬roh.
Mendengar jawaban ini, ummahatul mu’minin berseri-seri, seraya berujar “Dengan
berkah Allah, kita beri nama Al-Hasan.” Maka do’apun mengalir pada si kecil,
begitu selesai acara pembe¬rian nama.
Al-Hasan bin Yasar – atau yang kelak lebih dikenal sebagai
Hasan Al-Basri, ulama generasi salaf terkemuka – hidup di bawah asuhan dan
didikan salah seorang isteri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam:
Hind binti Suhail yang lebih terkenal sebagai Ummu Salamah. Beliau adalah
seorang puteri Arab yang paling sempurna akhlaqnya dan paling kuat
pendiriannya, ia juga dikenal – sebelum Islam – sebagai penulis yang produktif.
Para ahli sejarah mencatat beliau sebagai yang paling luas ilmunya di antara
para isteri Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam.
Waktu terus berjalan. Seiring dengan semakin akrabnya
hubun¬gan antara Al-Hasan dengan keluarga Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, semakin
terbentang luas kesempatan baginya untuk ber”uswah” (berteladan) pada ke¬luarga
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Pemuda
cilik ini mereguk ilmu dari rumah-rumah ummahatul mu’minin serta mendapat
kesempatan menimba ilmu bersama sahabat yang berada di masjid Nabawiy.
Ditempa oleh orang-orang sholeh, dalam waktu singkat
Al-Hasan mampu meriwayatkan hadist dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik dan
sahabat-sahabat RasuluLlah lainnya. Al-Hasan sangat mengagumi Ali bin Abi Thalib,
karena keluasan ilmunya serta kezuhudannya. Penguasan ilmu sastra Ali bin Abi
Thalib yang demikian tinggi, kata-katanya yang penuh nasihat dan hikmah,
membuat Al-Hasan begitu terpesona.
Pada usia 14 tahun, Al-Hasan pindah bersama orang tuanya ke
kota Basrah, Iraq, dan menetap di sana. Dari sinilah Al-Hasan mulai dikenal
dengan sebutan Hasan Al-Basri. Basrah kala itu terkenal sebagai kota ilmu dalam
Daulah Islamiyyah. Masjid-masjid yang luas dan cantik dipenuhi halaqah-halaqah
ilmu. Para sahabat dan tabi’in banyak yang sering singgah ke kotaini.Di Basrah,
Hasan Al-Basri lebih banyak tinggal di masjid, mengikuti halaqah-nya Ibnu
Abbas. Dari beliau, Hasan Al-Basri banyak belajar ilmu tafsir, hadist dan
qiro’at. Sedangkan ilmu fiqih, bahasa dan sastra dipelajarinya dari
sahabat-sahabat yang lain. Ketekunannya mengejar dan menggali ilmu menjadikan
Hasan Al-Basri sangat ‘alim dalam berbagai ilmu. Ia terkenal sebagai seorang
faqih yang terpercaya.
Keluasan dan kedalaman ilmunya membuat Hasan Al-Basri
banyak didatangi orang yang ingin belajar langsung kepadanya. Nasihat Hasan
Al-Basri mampu menggugah hati seseorang, bahkan membuat para pendengarnya
mencucurkan air mata. Nama Hasan Al-Basri makin harum dan terkenal, menyebar ke
seluruh negeri dan sampai pula ke telinga penguasa.
Ketika Al-Hajaj ats-Tsaqofi memegang kekuasan gubernur
Iraq, ia terkenal akan kediktatorannya. Perlakuannya terhadap rakyat terkadang
sangat melampaui batas. Nyaris tak ada seorang pun penduduk Basrah yang berani
mengajukan kritik atasnya atau menentangnya. Hasan Al-Basri adalah salah satu
di antara sedikit penduduk Basrah yang berani mengutarakan kritik pada
Al-Hajaj. Bahkan di depan Al-Hajaj sendiri, Hasan Al-Basri pernah menguta¬rakan
kritiknya yang amat pedas.
Saat itu tengah diadakan peresmian istana Al-Hajaj di
tepian kota Basrah. Istana itu dibangun dari hasil keringat rakyat, dan kini
rakyat diundang untuk menyaksikan peresmiannya. Saat itu tampillah Hasan
Al-Basri menyuarakan kritiknya terhadap Al-Hajaj: “Kita telah melihat apa-apa
yang telah dibangun oleh Al-Hajaj. Kita juga telah mengetahui bahwa Fir’au
membangun istana yang lebih indah dan lebih megah dari istana ini. Tetapi Allah
menghancurkan istana itu … karena kedurhakaan dan kesombongannya …”
Kritik itu berlangsung cukup lama. Beberapa orang mulai
cemas dan berbisik kepada Hasan Al-Basri, “Ya Abu Sa’id, cukupkanlah kritikmu,
cukuplah!” Namun beliau menjawab, “Sungguh Allah telah mengambil janji dari
orang-orang yang berilmu, supaya menerangkan kebenaran kepada manusia dan tidak
menyembunyikannya.”
Begitu mendengar kritik tajam tersebut, Al-Hajaj menghardik
para ajudannya, “Celakalah kalian! Mengapa kalian biarkan budak dari Basrah itu
mencaci maki dan bicara seenaknya? Dan tak seo¬rangpun dari kalian mencegahnya?
Tangkap dia, hadapkan kepadaku!” .
Semua mata tertuju kepada sang Imam dengan hati berge¬tar.
Hasan Al-Basri berdiri tegak dan tenang menghadapi Al-Hajaj bersama puluhan
polisi dan algojonya. Sungguh luar biasa ketenan¬gan beliau. Dengan keagungan
seorang mu’min, izzah seorang muslim dan ketenangan seorang da’i, beliau hadapi
sang tiran.
Melihat ketenangan Hasan Al-Basri, seketika kecongkakan
Al-Hajaj sirna. Kesombongan dan kebengisannya hilang. Ia langsung menyambut
Hasan Al-Basri dan berkata lembut, “Kemarilah ya Abu Sa’id …” Al-Hasan
mendekatinya dan duduk berdampingan. Semua mata memandang dengan kagum.
Mulailah Al-Hajaj menanyakan berbagai masalah agama kepada
sang Imam, dan dijawab oleh Hasan Al-Basri dengan bahasa yang lembut dan
mempesona. Semua pertanyaannya dijawab dengan tuntas. Hasan Al-Basri
dipersilakan untuk pulang. Usai pertemuan itu, seorang pengawal Al-Hajaj
bertanya, “Wahai Abu Sa’id, sungguh aku melihat anda mengucapkan sesuatu ketika
hendak berhadapan dengan Al-Hajaj. Apakah sesungguhnya kalimat yang anda baca
itu?” Hasan Al-Basri menjawab, “Saat itu kubaca: Ya Wali dan PelindungKu dalam
kesusahan. Jadikanlah hukuman Hajaj sejuk dan keselamatan buatku, sebagaimana
Engkau telah jadikan api sejuk dan menyelamatkan Ibrahim.”
Nasihatnya yang terkenal diucapkannya ketika beliau
diundang oleh penguasa Iraq, Ibnu Hubairoh, yang diangkat oleh Yazid bin Abdul
Malik. Ibnu Hubairoh adalah seorang yang jujur dan sholeh, namun hatinya selalu
gundah menghadapi perintah-perintah Yazid yang bertentangan dengan nuraninya.
Ia berkata, “Allah telah memberi kekuasan kepada Yazid atas hambanya dan
mewajibkan kita untuk mentaatinya. Ia sekarang menugaskan saya untuk memerintah
Iraq dan Parsi, namun kadang-kadang perintahnya bertentangan dengan kebenaran.
Ya, Abu Sa’id apa pendapatmu? Nasihatilah aku …”
Berkata Hasan Al-Basri, “Wahai Ibnu Hurairoh, takutlah
kepada Allah ketika engkau mentaati Yazid dan jangan takut kepada Yazid ketika
engkau mentaati Allah. Ketahuilah, Allah membelamu dari Yazid, dan Yazid tidak
mampu membelamu dari siksa Allah. Wahai Ibnu Hubairoh, jika engkau mentaati
Allah, Allah akan memeliharamu dari siksaan Yazid di dunia, akan tetapi jika
engkau mentaati Yazid, ia tidak akan memeliharamu dari siksa Allah di dunia dan
akhirat. Ketahuilah, tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam ma’siat kepada
Allah, siapapun orangnya.” Berderai air mata Ibnu Hubairoh mendengar nasihat
Hasan Al-Basri yang sangat dalam itu.
Pada malam Jum’at, di awal Rajab tahun 110H, Hasan Al-Basri
memenuhi panggilan Robb-nya. Ia wafat dalam usia 80 tahun. Penduduk Basrah
bersedih, hampir seluruhnya mengantarkan jenazah Hasan Al-Basri ke pemakaman.
Hari itu di Basrah tidak diselenggarakan sholat Ashar berjamaah, karena kota
itu kosong tak berpenghuni.
Nama lengkapnya adalah
Muhammad bin Sirin al-Anshari, ia adalah seorang ahli fiqh yang zuhud dan tekun
beribadah, ayahnya bekas sahaya Anas bin Malik yang membelinya dari Khalid bin
al-Walid yang menawannya di Ain at-Tamr di gurun pasir Irak dekat al-Anbar.
Sebelumnya Anas menjanjikan kebebasan bagi budaknya itu bila Sirin membayar
sejumlah uang. Sirin melunasinya dan bebaslah ia. Ibu Muhammad bin Sirin
bernama Shaffiyah yang pernah menjadi sahaya Abu Bakar.
Muhammad bin Sirin lahir
dua tahun menjelang masa pemerintahan Utsman, ia sempat bertemu dengan 30 orang
sahabat, tetapi tidak pernah melihat abu Bakar dan Abu Dzarr al-Ghifari. Ia
juga tidak mendengar langsung hadits dari Ibnu Abbas atau Abu Darda’ atau Imran
bin Hushain, atau sayyidah Aisyah. Namun ia meriwayatkan dari beberapa hadist
musnad dari Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Hudzaifah bin
al-Yaman dan beberapa lainnya.
Diantara orang yang meriwayatkan
dari Ibnu Sirin adalah Asy-Sya’bi, al-Auza’I, Ashim al-Ahwal, Malik bin Dinar
dan Khalid al-Hadzdza.
Hisyam bin Hisan berkata
tentangnya:” Dia Orang Paling Jujur yang pernah aku jumpai”, Abu
Awanah menambahkan “ Aku pernah meliha Ibnu sirin dan tak seorangpun
melihatnya tanpa sedang berzikir kepada Allah Ta’ala”. Dan komentarnya Abu
Sa’ad adalah “ Dia dipercaya memang teguh amanat, tinggi kedudukannya
dan banyak ilmunya”. Ia wafat pada tahun 110 H
Nama sebenarnya adalah
Abu Hafzah bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam bin Abil ash bin Umayyah
al-Quraisy, seorang tabi’in besar dan salah seorang dari Khalifah yang
Rasyidin, Ia sebagai kepala Negara yang adil dan seorang ulama yang kamil. Ia
dilahirkan di Mesir di negeri Halwan pada waktu ayahnya menjadi Amir disitu
pada tahun 61 H.
Semasa kecil ia telah
hapal al-Qura’an, kemudian ia dikirim ke Madinah oleh ayahnya untuk belajar. Ia
belajar al-Qur’an dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Ibnu Mas’ud.
Setelah ayahnya meninggal, paman Abdul Malik bin Marwan memintanya dating ke
Damaskus, lalu dikawinkan dengan seorang putrinya yang bernama Fatimah.
Kemudian beliau diangkat menjadi gubernur di Madinah dimasa pemerintahan
Khalifah al-Walid. Pada tahun 93 H lalu beliau kembali ke Syam dan kemudian
pada tahun 99 H beliau diangkat menjadi Khalifah.
Umar bin Abdul Aziz
menerima hadist dari anas, as Sa’ib bin Yasid, Yusuf bin Abdullah bin Salam.
Khalulah binti Hakim dan dari sahabat lainnya. Ia juga menerima hadits dari
tokoh tokoh Tabi’in seperti Ibnul Musayyab, ‘Urwah, Abu Bakar bin Abdurahman
dan yang lainnya.
Hadits-hadits beliau di
terima oleh para Tabi’in diantaranya adalah Abu Salamah bin Abdurahman, Abu
Bakar Muhammad bin Amr bin HAzm, az-Zuhry, Muhammad bin al-Munkadir, Humaid
ar-Thawil dan lain lain.
Seluruh Ulama
berpendirian menetapkan bahwa Umar bin Abdul Aziz ini adalah seorang yang
banyak Ilmu, Shalih, Zuhud dan Adil. Ia banyak memberikan perkembangan hadits ,
baik secara hapalan maupun secara pendewanan, maka takala ia menjadi Khalifah,
ia memerintahkan kepada ulama ulama daerah supaya menulis hadits hadits yang
ada didaerah mereka masing masing, lalu meriwayatkan hadist agar tidak hilang
dengan meninggalnya para ulama tabi’in tersebut. Umar bin Abdul Aziz ini
merupakan permulaan Khalifah yang memberikan perhatian kepada hal hal yang
demikian itu. Beliau disamakan dengan az-Zuhry tentang ke ‘Alimannya. Mujahid
berkata,”Kami mendatanginya, dan kami tidak meninggalkannya sebelum kami
beljar dari padanya”. Ia wafat pada tahun 101 H
Nafi’ lengkapnya bernama
Nafi’ bin Hurmuz (ada yang mengatakan bin Kawus), seorang ahli fiqh. Nama
julukannya adalah “Abu Abdillah al-Madini”. Abdullah bin Umar
menemukannya dalam suatu peperangan ia senang akan kegemaran
Nafi’ terhadap ilmu dan selalu menyiapkan diri dengan baik untuk
meriwayatkan hadits. Ia berkata :“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada
kita dengan Nafi”.
Nafi’ benar benar ikhlas
dalam berkhidmat kepada Ibnu Umar majikannya selama 30 tahun. Sebagian ulama
berpendapat bahwa Nafi’ berasal dari Naisabur, sedangkan ulama lain mengatakan
ia dari Kabul. Adapun menurut Yahya bin Ma’in:” Nafi adalah seorang
Dalam yang gagap bicara”.
Imam Malik bin Anas
termasuk murid Nafi’ bahkan muridnya yang paling tetap, menurut an-Nasa’I,
mengenai gurunya ini. Imam Malik berkata:”Apabila aku mendengan hadits dari
Nafi’, dari Ibnu Umar, aku tidak perduli lagi, sekalipun aku tidak
mendengarnya dari orang lain. Dari sini Imam Bukhari menetapkan bahwa sanad
paling shahih adalah Malik dari Nafi’, dari Ibnu Umar.
Nafi’ tidak hanya
meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar tetapi juga mempunyai riwayat-riwayat yang
bersumber dari Abu Sa’id al-Khudri, Sayyidah Aisyah dan Sayyidah Hafshah secara
Mursal.
Yang meriwayatkan hadits
dari dia ialah : Abdullah bin Dinnar, Az-Zuhri, al-Auza’I, Ibnu Ishaq, Shalin
bin Kaisan, dan Ibnu Juraij. Ibnu Umar sangat menyukainya, ada orang yang
berani membayar 30.000 dinar untuk mendapatkan Nafi’ kemudian dimerdekakannya.
Khalifah Umar bin Abdul
Aziz mengirimnya ke Mesir dengan tugas mengajarkan hadits dan pengetahuan agama
kepada penduduk negeri itu. Ia wafat pada tahun 117 H.
Nama sebenarnya adalah
Muhammad bin Muslim bin Abdullah, alim dan ahli fiqh. Al-Laits bin Sa’ad
berkata: “Aku belum pernah melihat seorang alimpun yang lebih mumpuni dari
pada az-Zuhri, kalau ia berbicara untuk memberi semangat, tidak ada yang lebih
baik dari pada dia, bila dia berbicara tentang sunnah dan al-Qur’an
pembicaraanya lengkap“.
Ibnu Syihab az-Zuhri
tinggal di Ailah sebuah desa antara Hijaz dan Syam, reputasinya menyebar
sehingga ia menjadi tempat berpaling bagi para ulama Hijaz dan Syam. Selama
delapan tahun Ibnu Syihab az-Zuhri ia tinggal bersama Sa’id bin Al-Musayyab di
sebua desa bernama Sya’bad di pinggir Syam. Disana pula ia wafat.
Ia membukukan banyak
hadits yang dia dengan dan dia himpun. Berkata Shalih bin Kisan:” Aku
menuntut ilmu bersama az-Zuhri, dia berkata: mari kita tulis apa yang berasal
dari Nabi Shallallahu alaihi wassalam, pada kesempatan yang lain dia berkata
pula: “Mari kita tulis apa yang berasal dari Sahabat”, dia menulis dan aku
tidak. Akhirnya dia berhasil dan aku gagal”.
Kekuatan hapalan dan
kecermatan az-Zuhri dapat disimak oleh Hisyam bin Abdul Malik pernah ia meminta
untuk mendiktekan kepada beberapa orang anaknya, dan az-Zuhri ternyata mampu
mendiktekan 400 hadits. Setelah keluar dari rumah Hisyam dan kepada yang
lainpun ia menceritakan 400 hadits tersebut. Setelah sebulan lebih ia bertemu
lagi dengan az-Zuhri, Hisyam berkata kepadanya “Catatanku dulu itu telah
hilang “, kali ini dengan memanggil Juru tulis az-Zuhri mendiktekan
lagi 400 hadits tersebut. Hisyam mengagumi kemampuan az-Zuhri,.
Kecermatan dan
penguasaan hadits oleh az-Zuhri membuat Amr bin Dinar mengakui keutamaanya dengan
berkata :”Aku tidak melihat ada orang yang yang pengetahuannya terhadap
hadits melebihi az-Zuhri”.
Az-Zuhri memang selalu
berusaha keras untuk meriwayatkan hadits, ada yang berkata bahwa az-Zuhri
menghimpun hadits jumlahnya mencapai 1.200 hadits, tetapi yang musnad
hanya separuhnya.
Az-Zuhri meriwayatkan
hadits bersumber dari Abdullah bin Umar, Abdullah bin Ja’far, Shal bin Sa’ad,
Urwah bin az-Zubair, Atha’ bin Abi Rabah. Ia juga mempunyai riwayat riwayat
yang mursal dari Ubadah bin as-Shamit, Abu Hurairah, Rafi’ bin Khudaij, dan
beberapa lainnya.
Imam bukhari berpendapat
bahwa sanad az-Zuhri yang paling shahih adalah az-Zuhri, dari Salim, dari
ayahnya. Sedangkan Abu Bakar bin Abi Syaibah menyatakan bahwa sanadnya yang
paling shahih adalah az-Zuhri, dari Ali bin Husain, dari bapaknya dari kakeknya
(Ali bin Abi Thalib)”.
Ia wafat di Sya’bad pada
tahun 123 H, ada yang mengatakan ia wafat tahun 125 H.
IKRIMAH (WAFAT 105 H)
Nama sebenarnya adalah Abu Abdullah Ikrimah Maulana Ibnu
Abbas seorang tabi’in yang meriwayatkan hadits hadits ibnu Abbas.
Ikrimah berasal dari Barbari dari penduduk Maghribi, Ibnu
Abbas memilikinya sejak ia menjadi Gubernor Bashrah dalam kekhalifahan Ali bin
Abi Thalib.
Ibnu Abbas mengajarkan al Qur’an dan Sunnah kepada Ikrimah
dengan sebaik baiknya, Ikhrimah sendiri pernah mengatakan, bahwa Ibnu Abbas
tetap memberikan pelajaran kepadanya, Ikrimah terus menerus menerima ilmu dari
Ibnu abbas, sehingga ia memperoleh keahlian dalam berfatwa dan diizinkannya
berfatwa.
Ia ahli dibidang hadits dan fatwa juga ahli dalam bidang
qira’at dan tafsir, ia masuk golongan qurra yang termasyur dan mufassir yang
terkenal.
Ikrimah tetap dalam perbudakan hingga Ibnu abbas wafat,
sehingga ia dimiliki oleh Ali bin Ibnu abbas (anaknya Ibnu abbas), kemudian Ali
menjualnya kepada Khalid bin Yasid bin Mua’wiyyah dengan harga 4.000 dinar,
lalu Ikrimah bertanya kepada Ali, “ Mengapa anda menjual ilmu ayah anda
dengan harga 4.000 dinar?”. Mendengar itu Ali membatalkan penjualannya dan
memerdekakan Ikrimah.
Ia menerima hadits dari banyak sahabat yaitu Ibnu Abbas, Al
Hasan bin Ali, Abu Qotadah, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Abu Sa’id, Mua’wiyyah dan
Ibnu Amr bin Ash.
Sedangkan yang meriwayatkan hadits darinya adalah Abusy
Sya’tsa, asy Sya’by, an Nakha’iy, Abu Ishaq, as Subai-iy, Ibnu sirin, Amr ibn
Dinar.
Para ulama
sepakat bahwa Ikrimah adalah orang yang Tsiqah dan mereka berhujjah dengan
hadits hadits yang diriwayatkan olehnya.
Namun demikian Muslim hanya meriwayatkan sebuah hadits saja
darinya dalam bab haji yang disertakan dengan Sa’id bin Jubair.
Banyak para ulama hadits yang menyusun kitab berhujjah
dengan Ikrimah diantaranya adalah Ibnu Jarir, ath Thabary, Ibn Nashr al Marwazy,
Ibn Mandah, Abu Hatim, Ibn Hibban, Abu Umar bin Abdul Barr dan lain lannya. Dan
di antara ulama yang membelanya seperti Al Hafidh Ibnu Hajar didalam Muthashar
Tahdzibu kamal daan didalam Muadimmah Fathul Bari.
Al Bukhary berkata,” Tidak
ada diantara para ulama hadits yang tidak berhujjah dengan Ikrimah”.
Ibnu Mai’n berkata,” Apabila
kami melihat orang yang mencela Ikrimah, kamipun menuduh orang itu tidak benar”.
Muhammad bin Nashr al Marwazy berkata,” Seluruh ilmu hadits diantaranya
Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Yahya bin Ma’in, aku telah bertanya kepada Ishaq
tentang berhujjah dengan Ikrimah, maka beliau menjawab, “Ikrimah dalam
pandangan kami, Imam yang tsiqah”.
Ibnu Mahdah berkata,” Ikrimah
dipandang adil oleh 70 tabi’in, ini suatu kedudukan yang hampir-hampir tidak
diperoleh oleh orang lain. Orang yang mencacinya pun meriwayatkan juga hadits
darinya. Dan Haditsnya diterima oleh para ulama. “.
Dari pernyataan pernyataan ini, nyatalah bahwa apabila
orang orang kepercayaan meriwayatkan suatu hadits dari Ikrimah, maka tidak ada
jalan untuk meragui kebenaran hadits itu.
Ia wafat pada tahun 105 H dalam usia 80 tahun lebih.
ASY SYA’BY (WAFAT 104 H)
Namanya adalah Amir bin Syurahil, ia seorang ulama tabi’in
yang terkemuka, beliau lahir pada pemirintahan Khalifah Umar bin Khaththab
yaitu pada tahun 17 H, ia seorang imam ilmu, penghapal hadits, dan ahli dalam
bidang fiqh.
Ia meriwayatkan hadits dari Ali bin Abu Thalib, Abu
Hurairah, Ibnu abbas, Aisyah, Ibnu Umar dan lain lainnya. Ia adalah guru
besarnya Abu Hanafi. Ia mengendalikan pengadilan Kufah beberapa lama masanya,
fatwa fatwanya telah berkembang di masa sahabat sendiri , hal ini menunjukan
bahwasanya beliau mempunyai ilmu yang luas dalam bidang hadits dan fiqh.
Para ulama
sepakat bahwa asy Sya’by adalah seorang imam dan seorang yang tsiqah dan semua
ulama memujinya karena keluasan ilmu dan keutamaannya. Ibnu Sirin berkata
kepada Abu Bakar al-Huzaly:,” Tetaplah
engkau bersama asy Sya’by, aku melihat bahwa beliau telah berfatwa di masa
sahabat masih banyak jumlahnya”.
Ibnu Abi Laila berkata:,” Asy
Sya’by adalah seorang ulama hadits sedangkan Ibrahim Nakha’iy seorang ahli
qiyas”. Dan Asy Sya’by sendiri pernah berkata, “Kami bukan fuqaha,
kami hanya meriwayatkan hadits.”. Ia wafat pada tahun 104 H
IBRAHIM AN NAKHA’IY (WAFAT 96 H)
Nama sebenarnya adalah Abu Imran Ibrahim bin Yazid bin Qais
an Nakha’iy al Kufy, beliau seorang ulama fiqh di Kufah dan seorang Tabi’in
yang mulia. Beliau sering menemui Aisyah, tetapi tidak ada keterangan yang
menyatakan bahwa ia menerima hadits dari Aisyah. Ia menerima hadits dari ulama
ulama tabi’in diantaranya adalah Iqamah, al Aswad, Abdurahman, Masruq dan lain
lainnya.
Hadits haditsnya diriwayatkan dari segolongan tabi’in,
diantaranya adalah Abu Ishaq as Subai’iy, Habib bin Abi Tsabit, Samak bin Harb,
al A’masy dan Hammad bin Abu Sulaiman gurunya Abu Hanifah.
Ibrahim an Nakha’iy walaupun tidak meriwayatkan hadits dari
seorang sahabat padahal ia menemui segolongan dari mereka. Namaun ia mempunyai
kedudukan yang tinggi dalam bidang hadits dan dalam bidang ilmu riwayat. Seluruh
ulama sepakat menyatakan bahwa ia adalah seorang yang tsiqah dan seorang ahli
dalam bidang fiqh.
Asy Sya’by pernah berkata,” Tidak ada seorangpun yang masih
hidup yang lebih alim dari pada Ibrahim, walaupun al Hasan dan Ibnu Sirin”.
Az Zuhrah pernah berkata,” an
Nakha’iy adalah salah seorang ulama terkenal”. Ia wafat pada tahun 96 H
ALQAMAH (WAFAT 62 H)
Nama sebenarnya adalah Abu Syibl Alqamah bin Qais bin
Abdullah an Nakha’iy al Kufi, paman dari al Aswad dan Abdurahman, dua orang
putra Yaziz juga saudara dari Ibrahim an Nakha’iy.
Ia menerima hadits dari sahabat sahabat besar yaitu Umar
bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Salman al Farisy, Khabbab,
Hudzaifah, Abu Musa, Aisyah dan sahabat sahabat lainnya.
Hadits haditsnya diriwayatkan oleh Abu Wail, Ibrahim an
Nakha’iy, asy Sya’by, Ibnu Sirin, Abdurahman bin Yazid, Abudl Dluha dan
lain-lainnya. Semua ulama mengakui ketinggian ilmunya dan sangat baik sirah
hidupnya, Ibrahim an Nakha’iy berkata,” Alqamah
menyerupai Ibnu Mas’ud”. Sedangkan
As Subai’iy berkata,” Alqamah seorang yang tsiqah dan ulama Rabbany”.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata,” Alqamah seorang kepercayaan dari
ahli khair”. Sedangkan
Abu Sa’ad as San’any berkata,” Alqamah adalah sahabat Ibnu Mas’ud yang
terbesar”.
Ia wafat pada tahun 62 H
No comments:
Post a Comment