MENGIMANI SIFAT MURKA ALLAH
MUQODDIMAH
الحمد لله رب
العالمين. وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم
الدين، أَمَّا بَعْدُ:
Kemuliaan
suatu disiplin ilmu sangat erat kaitannya dengan obyek pembahasan. Semakin
tinggi kedudukan obyek pembahasannya, maka ilmu itu semakin mulia. Oleh
karenanya para ulama mengatakan bahwa ilmu yang membahas tentang nama dan sifat
Allah Azza wa Jalla adalah cabang
ilmu yang sangat mulia, sebab obyek pembahasannya adalah Allah, Zat yang
Mahamulia, maka pembahasannya pun jadi mulia.
Di
antara sifat Allah yang menjadi tema pembahasan di dalam kitab para ulama
kontemporer adalah masalah sifat غضب (sifat
marah/murka) bagi Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Sengaja para ulama ahlus sunnah wal jama’ah memasukkan pembahasan
ini dalam karya tulis mereka karena ada sebagian umat Islam yang mengingkari
sifat ini. Sehingga perlu bagi para ulama untuk menjelaskan kepada umat ini
akan eksistensi sifat ghadhab (marah) bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
DALIL YANG
MENUNJUKKAN ADANYA
SIFAT MARAH BAGI ALLAH
SIFAT MARAH BAGI ALLAH
Ada
banyak dalil yang menunjukkan bahwa Allah Subhanahu
wa Ta’ala memiliki sifat ghadhab (murka/marah). Baik dalil dari
Al-Qur’an maupun dari Sunah.
1.
Dalil dari Al-Qur’an
Ada
banyak teks ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat marah.
Di antaranya adalah:
Firman
Allah Tabaraka wa Ta’ala,
وَمَنْ
يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ
عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan
barang siapa membunuh seorang beriman dengan sengaja, maka balasannya adalah
neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya
serta menyediakan adzab yang besar baginya.”
(QS. An-Nisa/4:
93)
Allah
berfirman,
فَبَاءُوا
بِغَضَبٍ عَلَى غَضَبٍ
وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan
karena itulah mereka menanggung kemurkaan demi kemurkaan, dan kepada
orang-orang kafir ditimpakan azab yang pedih.”
(QS. Al-Baqarah/2:
90)
Ketika
menanggapi ayat ini, Imam Ibnu Katsir rahimahullah membawakan riwayat
dari Abu ‘Aliyah. Beliau mengatakan, “Allah murka kepada mereka lantaran mereka
mengingkari Injil dan Isa. Kemudian mereka juga ingkar terhadap Muhammad dan
Al-Qur’an.”
Allah
Azza wa Jalla berfirman,
وَالْخَامِسَةَ
أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ
مِنَ الصَّادِقِينَ
“Dan
sumpah yang kelima bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya (istri) jika suaminya
termasuk orang yang berkata benar.”
(QS. An-Nur/24:
9)
Sebagaimana
yang kita saksikan, di dalam ayat-ayat di atas, Allah me-nisbat-kan sifat marah
kepada diri-Nya sendiri. Jika demikian halnya, lantas layakkah jika kita
lancang terhadap ayat-ayat Allah seraya mengatakan, “Allah tidak memiliki sifat
murka.” atau “ Allah tidak mungkin bisa marah.”
Tidakkah
kita tahu diri serta beriman kepada Allah? Tidakkah kita mencukupkan diri
menetapkan apa-apa yang telah Allah Subhanahu
wa Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya sendiri?
Ayat-ayat
yang memberikan pesan semakna dengan ayat-ayat di atas masih banyak. Bahkan
Allah juga mengisyaratkan hal ini di dalam ayat yang senantiasa dibaca oleh
umat Islam di dalam shalat-nya.
Allah Azza wa Jalla berfirman,
غَيْرِ
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“Bukan
jalan mereka yang dimurkai dan bukan jalan mereka yang sesat.”
(QS. Al-Fatihah/1:
7)
Syaikh
Sholih Fauzan hafizhahullah dan para ulama yang lain rahimahumullah
menjadikan ayat ini sebagai bukti bahwa ghadhab (marah/murka) adalah
salah satu sifat Allah ta’ala.[1]
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung
pesan bahwa Allah memiliki sifat murka kepada siapa saja yang Dia kehendaki
sebagaimana Dia juga memiliki sifat rida terhadap siapa saja yang Dia
kehendaki.
2. Dalil dari Al-Hadits
Ada
sekian banyak hadits yang menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat murka. Di antaranya adalah:
Hadits
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
إِنَّ
اللهَ لَمَّا قَضَى الْخَلْقَ كَتَبَ عِنْدَهُ فَوْقَ عَرْشِهِ إِنَّ رَحْمَتِي
سَبَقَتْ غَضَبِي
“Sesungguhnya tatkala Allah menetapkan
makhluk-Nya, Dia tulis di sisi-Nya di atas ‘arsy bahwa rahmat-Ku mendahului
murka-Ku”
(HR. Bukhari:
7422)
Hadits
yang juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu. Ketika Rasulullah terluka dalam sebuah peperangan, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اشْتَدَّ
غَضَبُ اللهِ عَلَى قَوْمٍ فَعَلُوا
بِنَبِيِّهِ يُشِيرُ إِلَى رَبَاعِيَتِهِ اشْتَدَّ غَضَبُ
اللهِ عَلَى رَجُلٍ يَقْتُلُهُ رَسُولُ اللهِ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Allah sangat murka terhadap kaum yang
memperlakukan nabinya seperti ini. Beliau menunjuk giginya yang patah. Kemudian
beliau mengatakan, “Allah juga sangat murka terhadap orang yang dibunuh oleh
nabi-Nya.” (HR. Bukhari: 4073 dan Muslim: 1793)
Barangkali
beberapa ayat dan hadits di atas sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah zat yang bisa
murka sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya.
MEMAHAMI SIFAT
ALLAH SESUAI DENGAN
KAIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
KAIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Para
ulama ahlus sunnah wal jama’ah telah jauh hari menetapkan kaidah-kaidah
universal dalam memahami teks-teks yang berbicara masalah sifat Allah Subhanahu
wa Ta'ala. Upaya ini tidak lain bertujuan untuk mengantisipasi adanya
penyimpangan dalam mempelajari dan memahami sifat-sifat Allah Ta’ala.
Serta untuk meng-counter pemikiran pemikiran luar yang berupaya untuk
merusak metode berpikir umat Islam.
Di
antara kaidah yang dimaksud adalah sebagai berikut:[2]
1. Hakikat sifat Allah tidak sama dengan sifat
makhluk-Nya.
Setiap
kali kita mendapatkan teks-teks yang berbicara tentang sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, harus kita tanamkan di
benak kita bahwa sifat Allah tidak sama dengan sifat makhluk. Kaidah ini
bersandar pada firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ
شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak
ada sesuatu apapun yang menyamainya. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”
(QS. Asy–Syura/42:
11)
Demikian
halnya ketika Allah Azza wa Jalla menisbatkan
sifat marah pada diri-Nya sendiri, maka kita harus memahami bahwa marahnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak sama
dengan marahnya makhluk. Meskipun namanya sama, akan tetapi hakikatnya berbeda.
Sebagai
contoh konkritnya, amarah yang timbul pada diri manusia adalah amarah yang
disertai dengan mendidihnya darah dalam jantung serta raut wajah yang memerah.
Bahkan bisa jadi rambutnya pun juga ikut berdiri. Ini adalah gambaran ekspresi
murka yang ada pada manusia.
Sedangkan
murkanya Allah Tabaraka wa Ta’ala, tidak boleh kita samakan dengan murka
manusia. Sebab jika kita samakan dengan sifat amarah yang ada pada manusia
berarti kita telah menerjang ayat di atas. Selain itu, jika kita menyamakan
antara murka Allah Azza wa Jalla dengan
murka makhluk maka akan timbul berbagai konsekuensi-konsekuensi batil, seperti;
Allah memiliki jantung, darah, rambut, dan seterusnya
Oleh
karena itu, kita tidak boleh menyamakan antara amarah Allah dengan amarah
manusia. Adapun bagaimana hakikat murka Allah, maka hanya Allah-lah yang
mengetahuinya.
2. Seluruh sifat Allah adalah sifat sempurna,
tidak mengandung aib dan kekurangan.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala adalah
Mahasempurna, jauh dari kekurangan serta aib. Allah Azza wa Jalla menerangkan hal ini dalam firmannya,
لِلَّذِينَ
لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ مَثَلُ السَّوْءِ وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى
وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Bagi
orang yang tidak beriman pada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk.
Sedangkan Allah mempunyai sifat yang Mahatinggi.”
(QS. An-Nahl/16:
60)
Ayat
ini mengandung pesan bahwa sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sifat yang paling tinggi, tiada sifat
yang lebih tinggi dari sifat Allah. Sehingga setiap sifat yang disandang oleh
Allah adalah sifat sempurna yang mencapai puncak kesempurnaan.[3]
Dengan
demikian, sifat murka Allah adalah sifat murka yang sempurna sesuai dengan
keagungan dan kemuliaan-Nya. Sesuai kehendak-Nya, Allah Azza wa Jalla murka kepada orang yang pantas untuk dimurkai
sebagaimana Dia juga meridai orang yang pantas untuk diridai.
Berbeda
halnya dengan sifat amarah makhluk. Manusia genap dengan seluruh kekurangan dan
keterbatasannya, sering kali bertindak tidak adil. Sangat mungkin seorang
manusia marah bukan pada tempatnya, atau marah pada orang yang tidak berhak
untuk dimarahi.
3. Teks yang berbicara masalah sifat Allah Azza wa Jalla harus dipahami sesuai
dengan makna lahiriahnya.
Al-Qur’an
adalah kitab suci yang Allah turunkan dengan bahasa Arab yang sudah jelas.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنَّهُ
لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ. نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ. عَلَى
قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ. بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
“Dan
sungguh Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, yang
dibawa oleh Ruhul Amin (Jibril).
Ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan.
Dengan bahasa Arab yang jelas.”
(QS.
Asy-Syu’ara: 192-195)
Allah
menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa Arab yang sangat jelas, itu artinya kita
tidak perlu menyimpangkan maknanya dari makna lahiriahnya. Ketika Allah
menyandarkan sifat ghadhab pada
dirinya, maka yang dimaksud dengan ghadhab (murka) adalah sifat marah hakiki
yang sudah diketahui maksudnya oleh setiap orang berakal.
Dengan
demikian kita tidak dibenarkan mengganti makna tersebut dengan makna lain.
Misalnya mengganti makna “ghadhab”
dalam ayat ini dengan tafsiran lain seperti; “keinginan untuk mengazab” atau
“keinginan untuk membalas”, dan sebagainya.
Jika
kita merubah makna ayat seperti ini, seakan kita mengatakan bahwa tata bahasa
dalam ayat Al-Qur’an tidak jelas, sehingga makna teks-teksnya perlu diganti
dari makna lahirnya.
Di
sisi lain, perbuatan mengganti makna teks seperti ini sama halnya kita
menentang Allah Azza wa Jalla. Seakan
orang seperti ini ingin mengatakan, “Allah tidak marah.” Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang telah
menyandarkan sifat tersebut kepada dirinya.
Imam
al-Asbahani rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya dalam permasalahan ini,
mazhab kami dan mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah menetapkan
serta memahaminya sesuai dengan makna lahiriahnya tanpa menggambarkan kaifiah-nya
serta tanpa menyamakannya dengan sesuatu apa pun. Sebagian kelompok ada
menolak sifat Allah dengan cara meniadakannya. Dan ada juga sebagian kelompok
yang menyimpangkan maknanya sehingga menyelisihi makna lahir. Akibatnya mereka
justru menolak sifat Allah dan juga menyerupakan Allah dengan makhluknya.”[4]
4. Tidak boleh menggambarkan bagaimana hakikat
sifat Allah.
Akal
manusia sangat terbatas. Jikapun bisa menganalisa, ia hanya mampu menganalisa
materi-materi yang kasat mata atau yang bisa ditangkap oleh indra. Dengan kata
lain, akal tidak akan pernah mampu menganalisa perkara-perkara ghaib tanpa
adanya bimbingan wahyu.
Oleh
karenanya jika ada manusia yang mencoba membayangkan bagaimana sejatinya
keadaan Allah Azza wa Jalla tatkala
murka, niscaya ia tidak akan sanggup untuk menggambarkannya. Sebab hal-hal yang
ia bayangkan adalah perkara gaib, tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah
pula didengar oleh telinga.
Seandainya
pun ia memaksakan diri untuk menggambar-gambarkannya, niscaya yang terlintas di
pikirannya tidak jauh dari berbagai bentuk makhluk yang pernah ia lihat dan ia
dengar saja. Itu artinya menggambarkan kaifiyah Allah sama artinya
menyerupakan Allah dengan Makhluk-Nya. Padahal kita tahu, Allah Azza wa Jalla tidak sama dengan
makhluknya.
Sehingga,
wajar jika kita dilarang untuk menggambarkan bagaimana bentuk Allah Ta’ala,
sebab jika kita membayangkan bentuk Allah sama halnya kita menyerupakan-Nya
dengan makhluk.
Sangat
tepat jawaban imam Malik rahimahullah
tatkala beliau ditanya, “Bagaimanakah Allah bersemayam (istiwa’) di atas
‘Arsy?” Beliau menjawab, “Istiwa’ sudah dimaklumi, sedangkan bagaimana kaifiah-nya
tidaklah kita ketahui, mengimaninya adalah wajib dan bertanya tentang kaifiah-nya
adalah bid’ah.”[5]
MELURUSKAN
KESALAH-PAHAMAN
Secara
umum, para ulama ahlus sunnah waljama’ah terdahulu semenjak generasi para
shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in tidak ada yang mengingkari sifat ini. Di
dalam memahami sifat ini pun nyaris tidak ada kontroversi di antara mereka.
Akan
tetapi setelah umat Islam banyak yang terpengaruh oleh filsafat Yunani mulailah
muncul kontroversi dalam memahami sifat ini. Teks-teks Al-Qur’an yang pada
dasarnya sangat mudah dipahami, kini dibuat bertele-tele dan begitu rancu.
Walhasil, banyak kaum muslimin yang keliru dalam memahami sifat ghadhab Allah Ta’ala.
Di
antara kesalahan tersebut adalah menolak sifat marah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam hal ini
mereka terbagi menajdi beberapa kelompok. Sebagian kelompok meniadakan sifat ghadhab bagi Allah Azza wa Jalla secara mutlak dan sebagian kelompok yang lain
menyimpangkan makna ghadhab kepada
maka yang lain, yaitu : kehendak untuk menyiksa.
Untuk
menguatkan pemikiran ini, mereka membawakan beberapa alasan. Di antaranya
adalah:
1. Marah adalah sifat bagi makhluk. Jika kita
menetapkan sifat marah bagi Allah berarti kita menyamakan Allah dengan
makhluk-Nya.
Untuk
menjawab kesalahpahaman seperti ini maka bisa kita jawab dari beberapa sisi:
a.
Jika
Anda boleh mengatakan demikian, maka kami pun juga bisa mengatakan bahwa orang
yang menolak sifat ghadhab bagi Allah sama artinya telah menyerupakan Allah
dengan dengan benda-beda mati (seperti batu, tanah, kayu, dan sebagainya) yang
tidak memiliki sifat marah.
b.
Kesamaan
nama tidak mengharuskan kesamaan materi. Sebagai contoh, Allah bersifat wujud
(ada). Demikian juga manusia bersifat wujud. Akan tetapi eksistensi
keduanya berbeda. Wujud Allah Azza wa Jalla
adalah wujud azali abadi, sedangkan wujud manusia adalah wujud fana dan
sementara.
Demikian
juga dengan sifat murka, meskipun Allah Subhanahu
wa Ta’ala punya sifat marah namun amarah Allah sesuai dengan kemuliaan-Nya
tidak sama dengan sifat amarah makhluk-Nya.
2. Marah adalah keadaan saat darah mendidih
dalam hati, dan hal itu mustahil bagi Allah.
Pemahaman
seperti ini juga tidak tepat. Sebab mendidihnya darah, atau berubahnya warna
wajah saat marah adalah sifat yang terjadi pada makhluk. Adapun Allah Azza wa Jalla, maka marah-Nya tidak
lazim harus seperti itu. Lantas bagaimana marahnya Allah? Hanya Allah–lah yang
mengetahui bagaimana kaifiah-nya.
3. Menetapkan sifat marah bagi Allah sama
dengan mengatakan bahwa Allah dipengaruhi oleh ciptaan, dan ciptaan yang
menyebabkan peristiwa kemarahan-Nya, dan lain-lain. Padahal Allah Azza wa Jalla tidak terpengaruh oleh apa
yang kita lakukan, atau oleh apa pun dalam
ciptaan-Nya. Karena Dia tidak membutuhkan ciptaan dengan cara atau
bentuk apapun.
Untuk
meluruskan kesalahpahaman ini kita bisa menjawabnya dari beberapa sisi:
Pertama: Yang
menetapkan sifat murka bagi Allah Subhanahu
wa Ta’ala adalah Allah sendiri. Sedangkan kewajiban kita hanyalah
menetapkan apa-apa yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri. Sebagai
hamba-Nya tentu kita tidak boleh lancang sampai berani menolak ketetapan Allah Azza wa Jalla atau menetapkan perkara
yang tidak Ia tetapkan bagi diri-Nya
Kedua: sifat murka
adalah sifat ikhtiyariyah (pilihan) Allah. Artinya Allah tidak dipaksa
oleh siapapun dalam hal ini. Semuanya terserah kepada kehendak Allah. Jika Ia
menghendaki maka Ia akan murka kepada orang yang pantas untuk dimurkai,
Sebagaimana Allah juga meridai hamba-Nya sesuai dengan kehendak dan iradah-nya.
Jadi menetapkan sifat murka bagi Allah, tidak berarti mengtakan bahwa Allah
bergantung kepada makhluk-Nya.
Dengan
demikian kita tidak perlu menakwil makna ghadhab
dengan “kehendak menyiksa” atau “siksaan” atau takwil-takwil lain yang
menyimpang dari makna lahirnya.
Demikian
pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Shallallahu ‘ala nabiyyina
muhammadin wa ‘ala alihi ajma’in.[]
Referensi
1.
Utsaimin. (2007)
Syarah Al Qawaid Al Mutsla, Darul Arqam; Mesir
2.
Asbahani.
(1999) Al Hujjah Fi Bayanil Mahajjah, Dar Ar Rayah; Riyadh.
3.
Fauzan,
Shalih.(2004) Syarah Lum’atul I’tiqad,
4.
Abul
‘Izz, Ibnu. (2006) Syarah ‘Aqidh Thahawiyah, Al Maktab Al Islami; Beirut.
[2] Untuk
mengenal kaidah-kaidah selengkapnya silakan merujuk ke kitab Al Qawa’idul
Mutsla, karya syaikh ‘Utsaimin rahiahullah.
No comments:
Post a Comment